Waktu
by
Iqlima Hawa
- May 28, 2021
Di sela-sela menunggu waktu akan membawaku jadi apa, aku disadarkan kalau ternyata dia cuma menungguku berhenti menunggu. Waktu dengan kedua matanya, menatapku kecewa karena aku tidak cukup berani untuk bangun dari tempat tidurku, bergegas mandi, lantas seusai sarapan, segera berdandan untuk melamar pekerjaan atau mencoba usaha-usaha guna memperbaiki hidupku. Waktu meneriaki kata-kata semangat di telingaku yang sebenarnya sudah sangat panas; dengan omongan tetangga, cibiran-cibiran anggota keluarga yang bilang kalau aku adalah beban.
Aku bangun pagi ini, dengan harapan masih ada waktu meski aku tak pernah sadar kalau dia selama ini ada. Aku ingin menggandeng tangan waktu, lalu mengajaknya ke taman, berbincang dari hati ke hati, berharap semoga ia bersedia jadi teman yang menerimaku apa adanya. Lalu kita menjadi dua entitas yang bekerja sama untuk satu perubahan. Untuk diriku yang bisa lebih berani menuliskan mimpi-mimpi dan mengusahakannya agar lekas terjadi.
Waktu dan aku lalu pergi ke sebuah sekolah dasar. Aku kemarin mengajukan lamaran jadi guru bahasa di sana. Semoga kemampuanku yang tidak seberapa ini, dapat menemani anak-anak sampai mereka pandai membaca. Pandai bercerita, dan bercita-cita. Pokoknya menjadi pandai yang tidak seperti aku.
Aku menuju ruang kepala sekolah, yang beberapa hari lalu sudah kukunjungi guna menyerahkan berkas lamaran. Dan hari ini adalah sesi interview, yang semoga dilancarkan untuk apapun pertanyaannya. Kepala sekolah menanyai hal-hal yang cukup membuatku berpikir keras, namun bisa kujawab dengan kalimat-kalimat yang keluar dengan percaya diri. Sepertinya aku sudah bosan sekali jadi beban untuk semuanya, jadi mau tidak mau harus percaya diri demi pekerjaan ini, meski mungkin tampak sekali dipaksa-paksakan.
Beberapa hari kemudian sebuah pesan tiba di ponselku, bahwa ternyata aku diterima di sekolah itu. Aku berterima kasih kepada bapak kepala sekolah, kepada diriku, kepada waktu, juga kepada cibiran tetangga yang ternyata membawaku sampai di sini.
Aku dan waktu mendidik anak-anak untuk membaca alfabet, mengeja satu persatu suku kata, lalu ketika sudah sampai saatnya mereka tiba belajar menulis. Kelas tiga sekolah dasar, kuajari mereka menulis karangan, dan kusarankan supaya yang ditulis berdasarkan pengalaman. Mereka ternyata cepat belajar, dan dari jemari-jemari kecil mereka lahir cerita-cerita yang polos dan jujur. Aku harap suatu saat nanti, ketika mereka mungkin sudah tiba di usia dua puluhan sepertiku dan sialnya mereka sedang kehilangan diri, mereka tetap mampu menghibur diri sendiri dengan menulis cerita-cerita langsung dari hatinya. Aku berharap mereka yang kehilangan diri itu lantas menemukan semangatnya yang berapi-api setelah menyadari, bahwa seburuk apapun mereka, mereka masih bisa menulis dengan indah. Dan menulis adalah keahlian yang bisa dibanggakan ketika sedang tidak punya pekerjaan apa-apa.