Mendengarkan
Pukul dua pagi, belum terlelap, dan sengaja menyetel musik meditasi yang sebenarnya bukan untuk hening sejenak atau apapun itu istilahnya; aku ingin malam hari-hari ini sebelum tidur ada yang jadi temanku saja. Aku sepertinya sedang muak sekali dengan kesepian, rasa bosan, dan keadaan di mana tidak bisa memilih apapun. Menyambut bangunku yang kesiangan dengan senyum dipaksa-paksa, minum segelas air putih tanpa semangat; hanya demi menghilangkan rasa gatal yang mencekik kerongkongan.
Butuh teman untuk sarapan menyantap sereal bersama, berebut menuang susu ke mangkuk masing-masing, lalu tenggelam dalam obrolan ringan yang bisa jadi tidak begitu berguna dibincangkan; namun momen berbincang itulah yang berguna, agar otak-otak kita tidak lumpuh, hati tidak mati, dan kebosanan tidak punya tempat. Ingin sekali punya seseorang, untuk membahas buku terbitan terbaru, bagaimana penulisnya bisa segila itu menyusun kata-kata. Lalu aku akan menanyai padanya buku apa yang telah mengubah hidupnya. Mulai berdiskusi hal-hal berat, seperti mengapa jatuh cinta pun adalah proses biologis yang melibatkan banyak hormon, padahal kita merasakannya spontan saja, dan dia--jatuh cinta itu, tidak pernah bisa kita mengerti.
Barangkali, di dunia yang sedang amat gemar berbicara ini, dua telinga kalah dengan satu mulut. Mulut yang satu dengan gigi-gigi tajam itu, lebih penting dimiliki di sini daripada dua buah telinga, yang sebenarnya pasti bisa saja tulus mendengarkan dan tetap tinggal di sana sampai sang lawan bicara lega dengan ceritanya; namun, telinga terlalu tidak diberi tempat. Mendengarkan menjadi pekerjaan yang amat lelah dilakukan, tidak ingin, dan sepertinya tidak perlu. Mungkin manusia-manusia berpikir bahwa bicara mampu mengubah apa-apa yang belum benar, meluruskan kesalahan-kesalahan, tanpa mereka sadar, di dunia yang tidak mendengarkan ini, mereka bicara pada siapa?
Semua berlomba-lomba menumpahkan perasaan dengan kalimat-kalimat yang panjangnya seperti kereta. Terus, terus bicara begitu sampai stasiun tujuan tidak sengaja telah terlewati, dan mereka masih saja sibuk dengan kebutuhan pengakuan akan eksistensi perasaan masing-masing. Andai saja di dunia ini, telinga lebih digunakan daripada apa saja, pasti cerita-cerita tidak akan bising, dan tiap jiwa menemukan satu jiwa lainnya yang tulus hadir untuk ceritanya.
Lelah juga menulis begini, karena sebenarnya sadar, bahwa tulisan pun tidak mampu mengubah apapun, jika dibacanya terburu-buru, tanpa berdiskusi dengan hati dalam-dalam--atau jangan-jangan, selama ini satu tulisan hanya dibaca dengan jari yang terus menggulir layar agar kata-kata segera tiba di bawah, dan ...
berakhir?
2 comments
🥰
ReplyDeleteterima kasih kakk 🤍
ReplyDelete