Selayaknya bahagia pergi, sedih pun pasti akan pergi juga. lalu diganti terharu mungkin, lalu diganti keriangan kecil mungkin, atau bahkan, mungkin sekali oleh Tuhan, diganti dengan kejutan besar; yang saaangat besar.Aku jatuh lagi dengan perasaan tidak cukup baik. Merasa diri sangat kurang terlepas dari penilaian orang lain bahwa aku katanya sangatlah keren. Aku...
Bersuka Citalah, Ya :)
by
Iqlima Hawa
- January 15, 2023
Apa kau pernah merasa bahwa menyaksikan perjalanan tumbuhmu adalah istimewa? Apa dalam luasnya hatimu kau merasa suatu saat hatimu akan dibagi juga untuk kita bersama? Dan bukan hanya untuk kita berdua, tapi untuk banyak sekali orang. Yang tertolong dengan perkataan baikmu, perlakuan-perlakuan kecilmu yang manis, segala hal yang membuat orang lain lupa bahwa...
Perjalanan Pulang :)
by
Iqlima Hawa
- December 16, 2022
Sehabis membaca blog sahabatku, Fa, tentang dia dan segala drama per-keretapian-nya menuju Malang (atau Lumajang (?), entahlah aku lupa), aku jadi teringat dengan kisahku dulu mengenai bis, jemputan, dan kisah perjalanan pulangku dari mengajar, yang sepertinya lebih bagus kalau tidak terjadi saja :'Aku mengajar di sebuah SD swasta saat itu, seperti biasa, diantar...
Sebisa Mungkin: Dikerjakan Bersama
by
Iqlima Hawa
- November 25, 2022
Aku pernah membayangkan bagaimana jika suatu saat lukaku ditukar dengan milikmu. Aku pernah membayangkan juga di jauh sudut hatiku yang lain bagaimana jika sukaku pun dibagi denganmu. Akankah melalui hari-hari denganmu adalah sebuah seni yang selayaknya aku suka atau tidak suka dengan hasilnya tapi aku suka melalui prosesnya.Apakah cinta adalah selayaknya menyusun karya...
Tuhan, Aku Ingin Sepotong Hati yang Cantik
by
Iqlima Hawa
- November 05, 2022
Tuhan, aku ingin, sebuah hati yang megah. Sebuah dan sepotong saja hati yang indah. Yang merasakan apa saja di dalamnya dengan perasaan dan prasangka baik. Bahwa hal-hal terjadi memang karena kehendak-Mu, di samping usaha dan doaku pada-Mu.Aku ingin punya sepotong hati yang cantik, meski wajahku tidak cantik. Aku tidak ingin orang-orang memandangku sebagai...
Pengantar Menuju Jurnal Yang Sedang Ingin Dijeda
by
Iqlima Hawa
- September 25, 2022
Aku kadang-kadang tidak mengerti sedang dibawa hidup ke mana. Diksi-diksi lenyap. Kata-kata kehilangan rupa. Sastra kadang-kadang menjenuhkan untuk dipelihara sampai tua hari dan usia.Lembaran buku seperti puisi yang cantiknya hanya sekejap. Beberapa lembar terasa seperti petikan novel yang lengkap tapi hiperbola.Aku kehilangan makna bahwa tulisan adalah anak bayi yang butuh diajari pertama kali....
"Eh, Masa Kamu Gini Aja Ngga Bisa?"
by
Iqlima Hawa
- January 19, 2022
Malam ini saya tengah menyelesaikan membaca buku Rahasia agar Tak Mudah Dilupakan, karya Kak Kartini F. Astuti. Sudah saya baca sejak lama, tapi karena hobi saya membaca banyak sekali buku dan berganti-ganti terus dalam satu waktu, buku itu saya biarkan lama ngga disentuh. Tapi, malam ini saya tiba-tiba ingin membacanya lagi, dan ada satu bab yang buat saya menangis. Benar-benar menangis dan terharu, dan, ah, apa ya, pasti kamu pernah kan, baca buku, atau dengar lagu, nonton video, dan ada satu hal dari mereka yang benar-benar masuk dan menyentuh hati kamu.
Judul babnya "Segera Pura-Pura Bodoh Saat Orang Lain Merasa Bodoh". Saya mau spill dikit deh inti ceritanya, pakai bahasa dan cara penyampaian saya sendiri. Menurut saya, makna bab ini harus diketahui lebih banyak orang lagi. Makna yang sering dilupakan, apalagi oleh kita yang 'pintar dan cemerlang'.
Kamu pernah ngga, posisinya di sini kamu murid yang pinter, nih; nilai kamu selalu bagus. Matematika, fisika, yang teman-teman kamu semuanya takut, tapi kamu justru tertantang, dan nganggep itu semua lebih ke latihan yang akan buat kamu makin berkembang, alih-alih mata pelajaran yang ditakuti dan bikin deg-degan pas ujian. Di kasus ini, kamu kan 'lebih' ya, dari teman-teman lain di kelas. Kalau pas nilai ujian dibagi, kamu ngga pernah cemas dan takut, ngga seperti teman-teman kamu.
Nah, ada nih, satu, teman kamu, orangnya baik banget. Kamu dan dia berteman baik. Tapi dia, ngga punya 'kelebihan' seperti kamu. Dia sulit buat ngerti dan paham pelajaran, seperti kamu ngerti semuanya. Ketika kamu udah belajar limit trigonometri nih misalnya, dia justru konsep sin, cos, tan, aja masih kebalik-balik. Tapi dia baik, kamu suka temenan sama dia, dia sering berbagi banyak yang dia punya ke kamu. Dan kamu juga ngga segan berbagi yang kamu tau ke dia.
Nah, di hari pembagian hasil ujian matematika, seisi kelas tegang. Kamu ya, tetap ada rasa tegang sih, tapi ngga besar. Kertas ujian dibagi oleh ketua kelas kamu. Ada berbagai macam ekspresi saat nilai di kertas ujian dilihat. Bersyukur, lega, sampai yang marah, nangis, kecewa, dan ujung-ujungnya ngebuang kertas itu ke laci meja. Kamu bersyukur karena nilai kamu 87, bagus lah, lumayan. Teman-teman kamu, yang kaum anak 'pinter', tapi ya 'belagak' juga sih, saling tanya-tanya, "Eh kamu dapet berapa, eh si dia sama si itu besaran siapa, liat dong liat!"
Tiba saatnya, pertanyaan itu sampai, ke teman kamu. Teman kamu yang baik banget tadi. Dia malu, dia mau bilang tapi malu. Teman-teman kamu, yang kaum 'pinter tapi belagak itu', langsung nyahut, "Ya ampun, dia anak kepala sekolah tapi kok nilainya jelek terus, sih, apa ngga diajarin ngitung sama orang tuanya, apa ngga dilesin, ya masa bapaknya kepala sekolah anaknya remed terus." Nyinyiran yang ngga berhenti, sahut-menyahut dari anak satu ke yang lainnya.
Kamu melihat dia dari jauh, dari tempat duduk kamu. Dia cuma menunduk, mungkin mau nangis, tapi sebisa mungkin ditahan. Kamu jadi ikut sedih, bagaimana pun, dia juga pernah dan selalu baik ke kamu. Kamu ngga tau rasanya, karena kamu murid pintar. Tapi kamu tau rasanya, ketika kamu ngga bisa sesuatu, dan kamu dihina sama orang lain. Karena kamu kan juga sadar, kamu sangat buruk saat disuruh memasak.
Tiba-tiba, entah ada kekuatan dan keberanian apa dari dalam diri kamu, kamu ikutan nyahut, kamu bilang, "Eh, tapi dia masih mending, loh, daripada aku!"
Seisi kelas menoleh ke arahmu, "Hah, serius? Masa nilai kamu lebih jelek dari dia, bukannya selama ini kamu bagus terus, ya?"
Kamu tersenyum, ini bagian dari rencanamu. Jawaban yang memang sengaja kamu pancing dari awal tadi. Lantas, kamu dengan lantang bersuara, "Iya, bukan soal nilai, sih. Karena kita, kan beda-beda. Nilai dia di matematika mungkin ngga besar, tapi coba liat deh, wah, nulis dia keren banget. Blognya udah dapet 10 ribu kunjungan lebih. Tulisannya mengalir, cara dia bercerita mengagumkan banget. Aku sih mana bisa gitu, bikin cerpen aja berantakan,"
Temanmu, yang dihina seisi kelas tadi, menatap ngga henti-henti ke kamu. Dia menangis, dia ngga nyangka kamu bilang itu semua.
Kamu lanjut mendekat ke tempat duduknya, di paling ujung sana, kamu bilang, dengan suara sedikit lebih pelan dari yang tadi, tapi sebisa mungkin kamu buat agar tetap terdengar yang lain, "Mama kamu penulis kan, ya? Makanya kamu nulisnya keren banget gitu. Mama aku jago masak, tapi sampe sekarang aku ngga bisa tuh masak, bisanya makan aja."
Kamu lantas memeluknya. Teman-teman kamu semuanya terdiam. Teman kamu yang dihina tadi mengucap terima kasih dari tatapan matanya. Dia ngga menyangka, kamu menolongnya. Kamu menolongnya bahkan dengan cara yang manis sekali.
Nah, the end. Cerita di bab ini tamat. Kurang lebih begitu. Ngga saya lebihin karena ngga mungkin juga saya spoiler karya orang yang udah ditulis susah payah. Yang saya ingin bagi, adalah nilai; nilai baik di cerita ini. Mungkin dari kita ada yang relate, entah jadi tokoh 'kamu', entah jadi sosok si teman yang dihina, atau bahkan kita bagian dari anak-anak yang 'pinter tapi belagak'. Saya mau bilang, mungkin kita merasa kelebihan kita atas sesuatu bikin kita punya dan ngerasain kepuasan lebih banyak dari orang lain. Mungkin kita ngerasa semua ilmu yang kita dapat itu karena usaha kita belajar mati-matian sendiri. Padahal, kalau kita mau sadar, bahwa semua ilmu datangnya dari Allah, dan bisa diambil kapan aja Allah mau, kita ngga bakal ngerasa lebih dari siapa pun lagi.
Mungkin, ilmu kita, kita pikir di sisi lain juga belum seberapa. Tapi, coba, deh, yang 'belum seberapa bagi kita' itu, ditransfer 'satu per satu' ke teman-teman lain yang belum paham. Pasti mereka ngerasa yang kita ajarin itu adalah kebaikan yang nilainya lebih dari apa pun. Kebaikan yang menurut mereka sangat besar, dan jauh lebih besar daripada kita traktir mereka makan enak setiap hari.
Kebaikan yang mungkin bagi kita kecil banget, kita ngga perlu ngeluarin tenaga buat itu, tapi terkenang selamanya; terkenang dan jadi doa-doa yang tanpa sadar abadi, dan menolong kita setiap hari.
Shalatlah, Shalat yang Baik
by
Iqlima Hawa
- November 25, 2021
Akhirnya datang satu hari, kamu sadar kamu makin jauh dari doa-doa. Kamu lama tak bangun malam, menangis, lalu sujud dalam-dalam. Kamu telah jauh selama ini. Tidak ada lagi hati yang tenang, saat ruku, saat sujud, saat kamu mengangkat takbir pertama. Air mata yang rasanya ingin tumpah, sedetik selepas salam kedua, sebab ternyata kamu...
Memilih
by
Iqlima Hawa
- November 16, 2021
Akhir-akhir ini saya merasa punya kesukaan yang dari dulu ngga pernah saya pikir saya bakal menyukainya. Saya tertarik belajar programming, data science, digital marketing, content creating, yup seputar begitu-begitu. Saya ngga nyangka, sebab dari dulu saya justru suka banget sama biologi dan psikologi. Yang sekarang rasa sukanya malah jauh memudar. Saya jadi belajar...
Orang Baik
by
Iqlima Hawa
- October 30, 2021
Kalau hari ini dunia buat kamu jatuh, merasa sendirian, percaya sama Tuhan, besok Tuhan kasih kamu satu orang yang bahkan seisi dunia jadi ngga penting lagi buat kamu. Kalau kamu percaya kamu orang baik, berarti kamu memang baik. Orang jahat ngga pernah ngerasa dengan jujur, kalau dia orang baik. Kamu keren kan, walau dijahatin...
Betapa kan Tuhan Pemurah Sekali
by
Iqlima Hawa
- October 20, 2021
Bulan ini bisa dibilang bulan terhectic sepanjang hidup saya. Kalau dijumlah semua, saya sedang mengurus tiga project sekaligus. Project pribadi, komunitas, berdua dengan teman, belum lagi memang pekerjaan harian membuat konten. Beruntung saya tidak pernah merasa burn out, hanya kelelahan-kelelahan kecil yang wajar, dan bisa tuntas dengan tidur seharian saat weekend.Ada kesyukuran-kesyukuran yang...
Kita Tak Butuh yang Sempurna dalam Hidup
by
Iqlima Hawa
- October 10, 2021
Dulu, kupikir seseorang akan mencintaiku karena aku mengagumkan. Sebuah bintang terbenderang. Cerdas, begitu membanggakan jika dimiliki. Aku pikir, bintang itu akan selalu terang. Tak akan pernah padam, apalagi oleh hal-hal di luar dugaan.Semesta, perkenalkan, aku Natta. Bintang yang juga mencintai bintang. Seorang Irawan, pendebat ulung yang bolak-balik mengalahkan semua orang. Seorang Irawan, yang...
Kamu Ngga Bakat!
by
Iqlima Hawa
- October 07, 2021
Ngga bakat. Kalimat yang ya, entah kenapa walau ngga sepenuhnya benar, terus saja saya yakini. Saya pikir, saya cuma bisa bagus kalau disuruh menulis. Di luar itu tidak. Dan mungkin, orang yang tak berbakat menulis tak bisa menulis semudah dan sebagus saya. Dan saya ngga bakat buat desain, menyanyi, memasak, sederet keahlian yang...
Kereta yang Bagus akan Datang
by
Iqlima Hawa
- September 20, 2021
Kereta yang bagus akan datang ... kereta yang bagus akan datang ...Di stasiun, aku menunggumu dengan debar yang tak sebentar. Halaman-halaman buku kubalik, botol minum berulang kali kubuka-tutup walau tak haus. Menunggumu ternyata semenegangkan itu. Mungkin di perjalanan sana, kau bahkan tak merasakan apa pun. Bertemu denganku mungkin hal biasa dan paling wajar...
Keberanian yang Menyelesaikan Semua
by
Iqlima Hawa
- September 13, 2021
Bolehkah kita memilih masalah kita sendiri? Apa saja yang ingin dihadapi, mempertimbangkan satu di antara yang lainnya, mengukur, mana yang sanggup dilalui. Bolehkah kita minta, untuk diberi lebih dari satu hati, mungkin saja sembilan, sepuluh? Supaya ketika satu kali patah, tidak hancur seluruhnya diri kita. Masalah-masalah, apa boleh kita hadapi, lalu saat tak...
Oh, Paket Saya Memang Indah, dan Pantas Untuk Saya Pesan
by
Iqlima Hawa
- September 11, 2021
Aku ingin jadi burung, yang ke mana saja mudah karena aku punya sayap. Yang saat pergi tak memikirkan, jangan-jangan nanti Mama marah, sewaktu melihat langit mulai gelap. Tapi Tuhan ciptakan aku jadi manusia. Yang bentuknya paling baik. Yang sesungguhnya sudah sempurna, tanpa perlu ditambah, percantik sana-sini, operasi ini-itu. Manusia, yang seharusnya bisa tahu,...
Yang Keresahan Ingin Tuliskan
by
Iqlima Hawa
- September 07, 2021
Aku sedang berusaha tidur, dan sesungguhnya ingin istirahat seminggu penuh. Tak menulis apa pun. Tak ada kata-kata, tak ada kalimat sedih yang kalau dibaca cuma jadi drama. Aku tiba-tiba teringat pada satu keputusan, cukup besar menurutku, mengisi bio Instagram dengan identitas 'penulis'. Berharap hal-hal yang produktif datang dari sana. Berharap orang-orang mengenalku memang...
Lalu, Mengapa Kita Tak ...
by
Iqlima Hawa
- September 03, 2021
Lalu mengapa, kita tak melalui satu hari dari sekian banyak hari dalam hidup, hanya untuk menjadi penonton saja? Kali ini bukan pemeran utama, bukan juga figuran yang diperhatikan sambil lalu, tapi penonton. Penonton yang melihat semua dalam satu layar, bahwa oh ternyata, betapa dunia kecil sekali, dan aku satu dari sekian banyak hal...
Bukan Waktu, Tapi Kita
by
Iqlima Hawa
- August 21, 2021
Pada beberapa waktu, yang menang bukan kita. Yang menang waktu itu sendiri. Bagaimana ia terus berdetak, tak peduli tak seorang pun peduli. Jarum-jarum yang setia, menuntun langkah ke mana saja. Menuju entah dan patah. Menuju patah satu, dua, tiga, dan tak hingga.Yang terus bernapas bukan kita, tapi waktu. Yang mungkin sudah kewalahan bukan...
Hidup Kita Terbentuk dari Rutinitas-Rutinitas Harian
by
Iqlima Hawa
- August 05, 2021
Hidup kita, tersusun dari rutinitas-rutinitas kecil, yang membangun pelan-pelan hari kita. Bahwa, tanpa mereka, pikiran kita akan melayang, tak terikat keharusan, harus lakukan apa. Bahwa rasa sungkan tiap Senin tiba, membentuk tahun-tahun kita. Bahwa kesepian bagi yang sendiri, saat detik-detik menjelang malam di hari Sabtu, sudah jadi kebiasaan. Berharap-harap supaya hujan. Supaya yang...