Keberanian yang Menyelesaikan Semua
Bolehkah kita memilih masalah kita sendiri? Apa saja yang ingin dihadapi, mempertimbangkan satu di antara yang lainnya, mengukur, mana yang sanggup dilalui. Bolehkah kita minta, untuk diberi lebih dari satu hati, mungkin saja sembilan, sepuluh? Supaya ketika satu kali patah, tidak hancur seluruhnya diri kita. Masalah-masalah, apa boleh kita hadapi, lalu saat tak kuat, kita tinggal pergi? Tapi mohon, dengan tidak datang lagi, cukup pergi saja, hilang dari pandangan seperti asap di udara.
Tapi sayangnya, kita tak hidup dengan semua hal yang bisa dikendalikan. Hidup bagai mata uang, yang satu bisa angka, satu bisa burung garuda, satu bisa kita kontrol, satunya lagi tidak. Dan ya, akan terus, terus begitu. Kita cuma tamu yang tiba di suatu rumah, tanpa bisa menolak akan disediakan apa. Masalah ibarat hidangan-hidangan, yang tak semua kita suka. Tapi semuanya buat kita kenyang, bermanfaat buat diri ketika diterima. Dan semakin dibuang, sang pemberi akan kecewa. Karena ia memberi untuk kita agar setelahnya bisa senang. Mungkin hidangan yang tak pernah kita jumpai sebelumnya. Belum pernah kita makan, sehingga yang memberi berharap, kita bisa cicipi rasa baru, yang mungkin mengesankan ketika kita mau coba.
Anak kecil, bagaimana pun kesulitan-kesulitan yang dijatuhkan padanya, selalu tak pernah anggap sebagai suatu yang rumit. Saat pekerjaan rumah begitu sukar, selalu ada kegiatan lain, yang buatnya lupa bahwa ia punya tugas yang sangat menjadikannya pusing. Lalu esoknya, entah dengan cara apa, selesai saja tugasnya.
Anak kecil hanya menggambar, menggambar, dan mewarnai, tanpa pernah merisaukan di mana harus cari penghapus. Garis-garis yang berani, warna-warna yang berani. Keberanian yang mungkin orang dewasa tak semuanya punya. Keberanian yang justru menyelesaikan semua.