Aku sedang berusaha tidur, dan sesungguhnya ingin istirahat seminggu penuh. Tak menulis apa pun. Tak ada kata-kata, tak ada kalimat sedih yang kalau dibaca cuma jadi drama. Aku tiba-tiba teringat pada satu keputusan, cukup besar menurutku, mengisi bio Instagram dengan identitas 'penulis'. Berharap hal-hal yang produktif datang dari sana. Berharap orang-orang mengenalku memang dengan cara itu, sebagai seseorang yang selalu menulis. Tapi selayaknya aku tahu, identitas itu mengikat. Aku seperti selalu dipanggil menulis tiap hari. Jujur, menyenangkan, ketika tulisan satu per satu lahir, dan aku lega, dan mungkin beberapa orang juga. Tapi aku seperti dikalungi rantai identitas, yang membebani leherku, karena di dunia ini aku harus membawanya ke mana-mana.

Kemarin, aku berpikir, bisa tidak lepas sebentar, seminggu saja. Tapi kau tahu, dosa penulis setelah ia membaca tulisan orang lain yang sangat bagus, ia selalu ingin menulis yang bagus juga. Keinginan itu kuat, tak bisa dicegah, apalagi hilang. Karena seorang penulis yakin, tulisan lain adalah inspirasi. Dan menyia-nyiakan ide ketika ia datang padamu sukarela bukanlah perbuatan baik.

Maka aku menulis lagi, biar saja ia mengalir. Jadi darah dalam tubuhku, yang membuat aku hidup. Yang kalau ia tiada aku bisa hilang juga dari dunia. Selama aku suka, menulis tidak akan berhenti. Jadi pekerjaan yang memang tak ada pekerjaan lagi yang kulakukan selain ini. Dan aku pun menulis untuk diriku sendiri. Aku berbagi karena siapa tahu ada orang butuh. Sedang mencari, menemukan, lalu dengan tulisan itu mereka tersentuh. 

Sebenarnya, pada diri tiap penulis ia ingin ada orang-orang yang setia membaca. Menanti hari-hari penulisnya membuat tulisan baru. Aku pun ingin juga punya mereka yang begitu. Dan walau aku tak tahu, dan walau yang aku tahu, tiap hari pengunjung blogku makin sedikit, aku yakin ada beberapa yang tetap membaca. Ada yang menunggu. Dan aku bertahan untuk itu.