Lalu, Mengapa Kita Tak ...
Lalu mengapa, kita tak melalui satu hari dari sekian banyak hari dalam hidup, hanya untuk menjadi penonton saja? Kali ini bukan pemeran utama, bukan juga figuran yang diperhatikan sambil lalu, tapi penonton. Penonton yang melihat semua dalam satu layar, bahwa oh ternyata, betapa dunia kecil sekali, dan aku satu dari sekian banyak hal kecil di dalamnya. Lantas mengapa aku sibuk ingin menjadi dan terlihat besar? Lantas mengapa menjadi besar sebegitu pentingnya untuk dicapai? Padahal setelah itu ada apa? Ada apa lagi, bukankah nanti, aku akan menginginkan yang lebih besar lagi, sangat besar, lalu lelah sendiri?
Lalu, mengapa kita tak melalui satu hari, dari sekian banyak hari di panjang garis waktu kehidupan, hanya untuk membasuh luka kita sendiri. Membasuh lara dan semua kesakitan. Memberinya obat terbaik. Mengatakan padanya bahwa suatu saat ia sembuh. Dan kita bisa berjalan bersama lagi. Dan hidup akan kita jalani lagi, sekali lagi, dua kali lagi. Dan terus, berkali-kali lagi, sampai kita tak mampu menghitung. Dan hanya sibuk menjalaninya tanpa bertanya mengapa aku hidup.
Lalu, mengapa kita tak melalui satu hari, dari sekian panjang titik yang digabungkan-gabungkan, untuk ya, katakanlah bermalas-masalan dan tak melakukan apa-apa, sebagai bentuk melakukan sesuatu itu sendiri. Cuma memandang hari, menyadari napas yang selama ini setia menemani kita. Walau tak diperhatikan, tapi ia ada. Makan dengan begitu sadar, minum dengan begitu sadar, membaca, membersihkan rumah dengan begitu sadar. Dan sadar, kesadaran juga bagian yang ingin dipeluk dari kita.