Bertanya dan Memasak
Sebagai perempuan yang suka mempertanyakan banyak hal kepada diri sendiri, -dan pertanyaan-pertanyaan itu hanya ada dalam kepala sendiri-, saya sempat punya pertanyaan, "Harus banget, ya, perempuan bisa masak?"
Saya dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang gemar memasak dan masakan menjadi semacam love language beliau. Rica-rica ayam, rendang, soto, bakso, mi ayam, sayur lodeh, mi sahur (disebut ini karena mi ini paling sering dimasak ketika sahur wkkw) semua beliau masak dengan sangat enak. Sampai saya baru tahu ada masakan yang amat di luar nalar saya, ibu saya memasak sayur kulit melinjo dan nasi goreng pakai tempe 😭
Saya dulu tumbuh sebagai remaja yang suka makan tapi tak suka masak. Tak sukanya bukan hanya karena sempat malas sekali, tapi pernah ada di masa sedang rajin-rajinnya memasak namun hasilnya selalu aneh. Okay, saya pernah menggoreng tempe dan hal sesepele menggoreng tempe pun gosong dan saya tutupan pakai tutup panci karena takut meledak-ledak wkwk. Saat kelas 5 SD di bulan puasa, orangtua saya bekerja, dan hanya ada saya di rumah dengan adik saya, saya inisiatif untuk memasak menu makanan berbuka. Lagi-lagi, masih sederhana, tumis kacang panjang. Saya semangat dan di dapur terdengar suara konsrang-konsreng yang heboh, tumisnya jadi, saya antar ke tempat ibu saya kerja, dan tibalah waktu berbuka. Rasanya enak tapi
... kacang panjangnya tak matang, masih lumayan keras! Okay saya cukup kesal, ya. Banyak lagi masakan gagal yang lain yang kalau diceritakan rasanya perasaan sebalnya masih ada, wkwk.
Sampai suatu ketika, dari jeda bertahun-tahun dan sok-sokan mempertanyakan, "Emang penting, ya, perempuan harus bisa masak?" saya berhasil memasak makanan yang menurut saya sulit, telur puyuh kecap. Berbekal resep di cookpad dan karena hanya ada bahan telur puyuh di kulkas, posisi saya lapar dan di rumah sendirian, akhirnya masaklah saya. Menggeprek serai, sedikit jahe (saya baru tahu kalau memasak ini pakai jahe), mengulek bawang merah dan putih, sampai konsrang-konsreng lagi. Dan ternyata demi apa, masakan yang kali ini rasanya luar biasa 😭 enak banget sampai saya ngga percaya kalau saya yang masak 😭
Baru kali itu saya masak dan setelahnya saya ingin teriak dan seperti ingin menawari semua orang telur puyuh kecap saya itu.
Akhirnya saya bersemangat mencoba memasak yang lain-lain dan banyak yang berhasil setelah selama ini hanya bisa bikin cilok dan cimol bojot. Pertanyaan sok-sokan saya itu serasa dipatahkan dengan sendirinya oleh diri saya juga. Perempuan ngga harus banget bisa masak, tapi minimal nyoba deh sekali seumur hidup. (Alay banget, dah, kalimat saya wkwk).
Btw, rasanya punya diri yang sering mempertanyakan banyak hal itu seru sebenarnya. "Gimana cara orang bikin dan ngukur jalan, apa pakai penggaris?", "Kenapa orang bisa dengan mudah menghafal nomor HP sendiri tapi tidak dengan angka-angka yang lain?", "Apa guru biologi menamai anak-anaknya dengan nama-nama latin tumbuhan tertentu?", "Mainan plastik, itu 'plastik'-nya terbuat dari apa?", dan seterusnya, dan seterusnya. Pertanyaan ini ngga pernah coba untuk saya cari jawabannya karena ya, buat apa wkw, ngapain kan browsing itu sementara banyak hal yang lebih penting.
Tapi, dari pertanyaan-pertanyaan yang aneh inilah, saya cukup banyak berkaca. Bahwa yang tidak saya ketahui sebagai manusia ternyata ada banyak sekali. Dan betapa seringnya saya belagak seperti manusia yang 'pintar' padahal ya ngga juga.
Saya menemui bahwa sedewasa apa pun kita, dari segi umur dan pengalaman, dalam diri kita sebenarnya masih ada banyak 'anak kecil'. Anak kecil yang suka bertanya, suka berimajinasi, suka berandai-andai, suka meminta ini dan itu. Anak-anak kecil yang memang harus dipelihara dan disayangi, tapi tidak untuk dibiarkan 'selalu menjadi anak kecil'. Karena kalau tak dibatasi, bisa berpotensi membahayakan juga kalau bertanya hal-hal 'ekstrem' yang tak seharusnya ditanyakan.
0 comments