Diversity
Aku pertama kali mengenal istilah diversity saat mempelajari biologi. Bab keanekaragaman hayati (biodiversity), kelas sepuluh SMA. Di pikiranku dulu, sebagai remaja, keberagaman itu sangat indah.
Ada laki-laki, ada perempuan. Ada tumbuhan yang hanya bisa tumbuh di daerah tertentu, ada tumbuhan yang kosmopolit: cenderung bisa hidup di mana saja. Ada bunga yang mahkotanya bertujuan untuk menarik perhatian serangga sehingga bisa melakukan penyerbukan, ada juga bunga yang justru 'menelan' serangga itu sendiri.
Kelas 11, saat-saat disibukkan dengan persiapan olimpiade bersama tim, aku melihat keberagaman lebih indah dari sebelumnya. Teman sebangkuku yang ikut olimpiade matematika bilang, "Aku ngga hafal deh, nama-nama latin gitu," yang lalu kubalas, "kenapa udah kelas 11, materi eksponen dan akar pun konsepnya aku sama sekali ngga paham." lalu kita akan saling tukar pemikiran.
Kemudian waktu berlalu, tahun berganti, masing-masing manusia menjadi tumbuh lebih dewasa. Dan di usiaku yang dua puluhan, dengan pengalaman sempat mengajar di PAUD, SD, dan les privat, serta sempat berkuliah juga, diversity bagiku tak lagi menarik.
Semua hanya tentang aku, preferensiku, ideku, dan cara presentasiku. Aku bertemu teman-teman baru, rekan-rekan kerja baru, yang juga sama-sama sedang bertumbuhnya. Mereka punya ide lain, gagasan lain, tujuan dan cara memandang proses lain, yang tak jarang berbenturan dengan milikku.
Melakukan musyawarah, negosiasi, dan diskusi ternyata tidak segampang itu.
Aku masih anak dua puluhan hingga kini yang labil, kadang gegabah, kadang mendominasi. Tapi ternyata teman-temanku 'butuh' dominasi itu untuk memimpin kelompok, menjawab pertanyaan, mewakili kelasku tilawah Al-Qur'an saat acara kampus karena aku dianggap berani dan percaya diri.
Padahal orang-orang terdekatku, dan aku sendiri melihat diriku begitu penakut. Karena saking penakutnya, ketika tanggal 20 ada tugas, aku akan memikirkannya sejak tanggal 10 nya. Lalu mencari jurnal, membaca buku, sampai membuat list pertanyaan yang mungkin muncul.
Dan seringkali aku jatuh sakit setelah hari H, mungkin karena terlalu all out.
Kebalikannya, aku butuh teman-teman yang bisa mengajakku santai sejenak. Sesekali ingin dipimpin.
Rekan kerja seniorku pernah bilang, "Ini menurut saya, begini ya, tapi manusia kan selalu beda-beda ya, Mba." Sejak hari itu aku justru fokus mengamati apa yang berbeda. Dan sejak fokusku beralih ke hal-hal eksternal, aku jadi tidak melihat ke dalam diri. Memandang keberagaman itu menyebalkan sekali sampai bolak-balik tes MBTI, bukan untuk mengetahui sisi dominan dan auxiliary ku apa, tapi untuk pernyataan membela diri dalam hati :)) (imo mbti is a pseudoscience, correct me if i'm wrong)
Di usia dua puluh tiga tahun seperti sekarang, aku terkadang kalah dengan ego, tapi mungkin belajar lebih pasrah karena tidak semua hal bisa dikontrol dan tidak semua rencana bisa dieksekusi dengan rapi, atau bahkan banyak yang gagal? Dengan berbagai penolakan di sana sini ketika mencoba menekuni bidang yang sesuai passion, aku melihat ternyata realita itu fakta yang tidak hanya berhenti di kepala.
Mimpiku jadi sedikit lebih membumi. Diriku juga harus membumi. Ada temanku yang menganggap diversity itu menarik sekali karena ia jadi bisa mengobrol dan mendapat wawasan yang tidak pernah didapatkan sebelumnya. Sedangkan aku, tetap teguh, hanya ingin bersama dengan yang satu visi misi, namun kalau realitanya nanti berbeda, dan takdir Allah selalu yang terbaik, mungkin harus belajar mengelola ekspektasi dan belajar manajemen diri lagi.