Pikiran Saya
Pikiran saya labirin panjang. Tiap saya masuk, saya begitu gampang pusing dan tersesat. Saya sudah sering merasakannya, sesekali saya ingin mengajakmu tersesat bersama. Tapi, jangankan begitu, saya cukup yakin tidak ada yang mau berjalan bersama saya, menelusuri lika-liku bingung dan jalan buntu.
Pikiran saya pulau terpencil. Jauh, jarang-jarang ada yang mau berkunjung ke sana. Pulau kecil tapi riuhnya minta ampun. Pulau kecil berisi kebakaran, dua ratus genggam kecemasan, seratus lebih jenis insecurities, dua puluh tiga bom yang meledak bersamaan.
Pikiran saya tidak pernah sederhana. Saya yang memilikinya bahkan kesal karena ia terus menjadi rumit tanpa saya minta. Obat penenang, antipsikotik, dan mood stabilizer, saya sudah lelah meminumnya dua kali sehari sepanjang tahun. Dan dua hari lagi saya harus menemui dokter untuk konsultasi.
Kalau dipikir-pikir, lelah juga terapi. Bosan juga selalu kacau.
Tapi sebenci-bencinya saya, saya yakin suatu saat, jika saya mulai mengalirinya dengan setetes demi tetes berani --dan bodoamat-- sejak kini, pikiran-pikiran berisik itu akan mereda. Menjadi benang-benang yang lebih mudai diurai. Menjadi kata-kata yang sedikit lebih bijaksana.
Saya tetap punya keyakinan, bahwa beberapa hal dalam hidup selalu menyayangi saya. Beberapa benda tetap merindukan saya ada. Komputer yang selalu saya gunakan untuk menulis, buku harian yang menampung semuanya.
Sajadah, bantal, dan dinding kamar, mereka tahu kalau setiap hari saya menangis.
0 comments