Hidup dan Menghidupi dari Menulis - Lomba Blog Catatan Pringadi Bekerja Sama dengan Tempo Institute
by
Iqlima Hawa
- July 04, 2020
Sebuah quote dari Anais Nin, pengarang berkebangsaan Prancis, masih terus menginspirasi saya agar selalu menulis. Bunyinya seperti ini,
"We write to taste life twice, in the moment and in retrospect."
Ya, kita menulis untuk merasakan hidup dua kali, pada saat sebuah momen hadir dan ketika kita dalam proses introspeksi diri kembali setelahnya.
Menulis menurut pandangan saya, lebih dari sekadar hidup, namun 'menghidupi'. Betapa banyak pemikiran-pemikiran yang lebih terbuka lahir setelah seseorang membaca sebuah tulisan. Baik berupa buku-buku sastra tebal, pengembangan diri, novel, hingga tulisan singkat dalam sebuah artikel. Tulisan yang baik, diciptakan dengan kebersihan hati nurani, tajam dan kritisnya sudut pandang dalam menghadapi sebuah fenomena, dan jiwa yang menyatu dengan karya yang sedang digarapnya.
Kenapa literasi menjadi penting dan kita butuh untuk selalu menulis? Karena ucapan lisan akan hilang seiring berjalannya waktu, dan bahasa tulisanlah yang permanen. Kita tidak bisa menafikan bahwa ucapan, nasihat, ataupun orasi yang menggebu-gebu akan melahirkan semangat berapi-api. Perkataan-perkataan itu akan membawa kita pada perenungan dalam karena nada ucapannya memiliki efek hipnotis tersendiri. Bagaimana dulu pidato heroik Bung Tomo dalam Battle of Surabaya 10 November 1945 silam, nyatanya mampu membakar semangat rakyat Surabaya dengan sebegitu mengesankan. Dan hal ini menjadi kunci lahirnya perlawanan rakyat Surabaya dalam mengusir tentara Inggris pada pertempuran bersejarah itu.
Namun, di sisi lain, kekuatan tulisan memiliki keindahannya tersendiri. Literatur-literatur tentang bangsa ini, kehidupan manusia pada umumnya, hingga persoalan personal seperti percintaan, pencarian jati diri, dan banyak hal kompleks diceritakan begitu baik oleh para penulis dan penyair. Puisi Sapardi yang berjudul Hujan Bulan Juni ternyata hingga kini masih menguar pesonanya. Masih dipuja para pecandu puisi dan jadi bacaan yang sangat manis di sisi cukup banyak orang.
Kita butuh menulis untuk mengikat sebuah peristiwa agar abadi meski jasad telah mati.
Menulis juga merupakan sarana untuk self-healing, yaitu mengobati diri sendiri. Inilah salah satu alasan terkuat saya tetap menulis hingga saat ini. Pengalaman mempunyai penyakit mental yang cukup serius--bipolar disorder, menjadikan kegiatan menulis adalah terapi yang mudah dilakukan dan saya sukai. Jujur, sejak kecil, saya tidak tertarik sama sekali untuk berkecimpung dalam dunia literasi. Hingga kejadian Januari 2016 silam, membawa saya pada petualangan aneh yang ternyata mengagumkan; saya menyukai menulis. Saya menuliskan kisah-kisah saya selama rawat inap di rumah sakit, dan itu membuat saya ingin terus menulis karena hati saya rasanya lega dan jiwa saya merasakan arti lebih sehat dan lebih pulih di tengah penyakit.
Lalu, bagaimana selanjutnya?
Kegiatan ini didukung oleh psikiater saya, bahkan beberapa kali saat kontrol rutin, beliau menyarankan saya untuk terus menulis. Ya, apa saja, dibuat seperti jurnal harian. Dan itu berarti sekali bagi saya. Ditambah lagi, saat saya menjadi satu dari seratus lima puluh penyair nasional terpilih dalam sebuah event menulis puisi, dan puisi-puisi itu dikumpulkan hingga menjadi sebuah buku antologi, psikiater dan perawat saya memesan bukunya. Sebuah definisi kebahagiaan luar biasa, meski tentu harus selalu berbenah dan berlatih.
Iya, berlatih adalah kunci paling utama dalam menulis. Tentu kita bisa mengikuti pelatihan-pelatihan menulis di mana saja, baik kelas secara tatap muka maupun kelas daring. Banyak juga komunitas menulis di Indonesia, semua hanya tentang kita, tentang perasaan dan pandangan kita apakah benar-benar ingin berkontribusi untuk negeri. Setiap penulis atau calon-calon yang mendedikasikan dirinya untuk menulis, bukannya tidak pernah mengalami kegagalan. Bukannya tidak pernah merasakan writer's block atau merasa buntu melanjutkan tulisan. Juga bukannya tidak kesulitan untuk sekadar memikirkan judul yang menarik dan memikat. Lebih dari itu, mereka bahkan memulai semuanya hanya dari satu kata, satu ide. Yang kemudian dikembangkan dengan segenap imajinasi maupun fakta untuk jadi sebuah kalimat. Sebuah paragraf, sehalaman tulisan, hingga sebuah kisah baik fiksi maupun nonfiksi.
Jadi intinya, menulislah, agar kita bisa merasakan hidup dan menghidupi. Agar kita menemukan bahan introspeksi yang tidak menggurui. Juga, agar sebuah peristiwa bisa tetap tersimpan rapi dan cantik.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerja sama dengan Tempo Institute.