Aku mulai menulis ini pada pukul 03.07. Sejak berjam-jam sebelumnya aku belum bisa tidur. Otak dan hatiku barangkali masih memproses banyak pikiran dan perasaan. Sebab aku tak ingin berlarut dalam dua hal ini, maka aku menulis.Sekitar pukul 02.30, aku memutuskan untuk mengambil handphone-ku yang sedang diisi baterainya. Bingung hendak melakukan apalagi setelah bosan...
Maaf :)
by
Iqlima Hawa
- April 17, 2023
Suatu hari nanti, jika aku diberi kesempatan oleh Tuhanku, Pak, Bu, aku akan menjadi orang tua juga. Aku akan merasakan betapa beratnya menjadi engkau berdua. Betapa sedihnya mungkin engkau dengan keputus-asaanku, dengan kesedihan-kesedihanku juga. Dan aku harus berhenti bersedih karena tak ingin anakku besok menjadi rapuh sepertiku.Pak, Bu, doakan aku. Aku ingin menjadi...
Afirmasi yang Semoga Baik
by
Iqlima Hawa
- January 22, 2023
Selayaknya bahagia pergi, sedih pun pasti akan pergi juga. lalu diganti terharu mungkin, lalu diganti keriangan kecil mungkin, atau bahkan, mungkin sekali oleh Tuhan, diganti dengan kejutan besar; yang saaangat besar.Aku jatuh lagi dengan perasaan tidak cukup baik. Merasa diri sangat kurang terlepas dari penilaian orang lain bahwa aku katanya sangatlah keren. Aku...
Bersuka Citalah, Ya :)
by
Iqlima Hawa
- January 15, 2023
Apa kau pernah merasa bahwa menyaksikan perjalanan tumbuhmu adalah istimewa? Apa dalam luasnya hatimu kau merasa suatu saat hatimu akan dibagi juga untuk kita bersama? Dan bukan hanya untuk kita berdua, tapi untuk banyak sekali orang. Yang tertolong dengan perkataan baikmu, perlakuan-perlakuan kecilmu yang manis, segala hal yang membuat orang lain lupa bahwa...
Perjalanan Pulang :)
by
Iqlima Hawa
- December 16, 2022
Sehabis membaca blog sahabatku, Fa, tentang dia dan segala drama per-keretapian-nya menuju Malang (atau Lumajang (?), entahlah aku lupa), aku jadi teringat dengan kisahku dulu mengenai bis, jemputan, dan kisah perjalanan pulangku dari mengajar, yang sepertinya lebih bagus kalau tidak terjadi saja :'Aku mengajar di sebuah SD swasta saat itu, seperti biasa, diantar...
Sebisa Mungkin: Dikerjakan Bersama
by
Iqlima Hawa
- November 25, 2022
Aku pernah membayangkan bagaimana jika suatu saat lukaku ditukar dengan milikmu. Aku pernah membayangkan juga di jauh sudut hatiku yang lain bagaimana jika sukaku pun dibagi denganmu. Akankah melalui hari-hari denganmu adalah sebuah seni yang selayaknya aku suka atau tidak suka dengan hasilnya tapi aku suka melalui prosesnya.Apakah cinta adalah selayaknya menyusun karya...
Tuhan, Aku Ingin Sepotong Hati yang Cantik
by
Iqlima Hawa
- November 05, 2022
Tuhan, aku ingin, sebuah hati yang megah. Sebuah dan sepotong saja hati yang indah. Yang merasakan apa saja di dalamnya dengan perasaan dan prasangka baik. Bahwa hal-hal terjadi memang karena kehendak-Mu, di samping usaha dan doaku pada-Mu.Aku ingin punya sepotong hati yang cantik, meski wajahku tidak cantik. Aku tidak ingin orang-orang memandangku sebagai...
Pengantar Menuju Jurnal Yang Sedang Ingin Dijeda
by
Iqlima Hawa
- September 25, 2022
Aku kadang-kadang tidak mengerti sedang dibawa hidup ke mana. Diksi-diksi lenyap. Kata-kata kehilangan rupa. Sastra kadang-kadang menjenuhkan untuk dipelihara sampai tua hari dan usia.Lembaran buku seperti puisi yang cantiknya hanya sekejap. Beberapa lembar terasa seperti petikan novel yang lengkap tapi hiperbola.Aku kehilangan makna bahwa tulisan adalah anak bayi yang butuh diajari pertama kali....
Belakangan Ini Kita Jadi Banyak Membaca
by
Iqlima Hawa
- February 11, 2022
Hari-hari ini, kegemaran kita barangkali adalah membaca: bagaimana kita tumbuh, bagaimana hujan jatuh --dan kita jadi tenang-- bagaimana daun gugur, kita ikut gugur, bagaimana musim semi juga turut memekarkan bunga-bunga dalam jiwa kita.Musim, cuaca, pergantian siang dan malam, yang mendukung kita hidup sebagai manusia. Tidak tetap, berganti, dan kita pun bergerak. Dan kita...
"Eh, Masa Kamu Gini Aja Ngga Bisa?"
by
Iqlima Hawa
- January 19, 2022
Malam ini saya tengah menyelesaikan membaca buku Rahasia agar Tak Mudah Dilupakan, karya Kak Kartini F. Astuti. Sudah saya baca sejak lama, tapi karena hobi saya membaca banyak sekali buku dan berganti-ganti terus dalam satu waktu, buku itu saya biarkan lama ngga disentuh. Tapi, malam ini saya tiba-tiba ingin membacanya lagi, dan ada satu bab yang buat saya menangis. Benar-benar menangis dan terharu, dan, ah, apa ya, pasti kamu pernah kan, baca buku, atau dengar lagu, nonton video, dan ada satu hal dari mereka yang benar-benar masuk dan menyentuh hati kamu.
Judul babnya "Segera Pura-Pura Bodoh Saat Orang Lain Merasa Bodoh". Saya mau spill dikit deh inti ceritanya, pakai bahasa dan cara penyampaian saya sendiri. Menurut saya, makna bab ini harus diketahui lebih banyak orang lagi. Makna yang sering dilupakan, apalagi oleh kita yang 'pintar dan cemerlang'.
Kamu pernah ngga, posisinya di sini kamu murid yang pinter, nih; nilai kamu selalu bagus. Matematika, fisika, yang teman-teman kamu semuanya takut, tapi kamu justru tertantang, dan nganggep itu semua lebih ke latihan yang akan buat kamu makin berkembang, alih-alih mata pelajaran yang ditakuti dan bikin deg-degan pas ujian. Di kasus ini, kamu kan 'lebih' ya, dari teman-teman lain di kelas. Kalau pas nilai ujian dibagi, kamu ngga pernah cemas dan takut, ngga seperti teman-teman kamu.
Nah, ada nih, satu, teman kamu, orangnya baik banget. Kamu dan dia berteman baik. Tapi dia, ngga punya 'kelebihan' seperti kamu. Dia sulit buat ngerti dan paham pelajaran, seperti kamu ngerti semuanya. Ketika kamu udah belajar limit trigonometri nih misalnya, dia justru konsep sin, cos, tan, aja masih kebalik-balik. Tapi dia baik, kamu suka temenan sama dia, dia sering berbagi banyak yang dia punya ke kamu. Dan kamu juga ngga segan berbagi yang kamu tau ke dia.
Nah, di hari pembagian hasil ujian matematika, seisi kelas tegang. Kamu ya, tetap ada rasa tegang sih, tapi ngga besar. Kertas ujian dibagi oleh ketua kelas kamu. Ada berbagai macam ekspresi saat nilai di kertas ujian dilihat. Bersyukur, lega, sampai yang marah, nangis, kecewa, dan ujung-ujungnya ngebuang kertas itu ke laci meja. Kamu bersyukur karena nilai kamu 87, bagus lah, lumayan. Teman-teman kamu, yang kaum anak 'pinter', tapi ya 'belagak' juga sih, saling tanya-tanya, "Eh kamu dapet berapa, eh si dia sama si itu besaran siapa, liat dong liat!"
Tiba saatnya, pertanyaan itu sampai, ke teman kamu. Teman kamu yang baik banget tadi. Dia malu, dia mau bilang tapi malu. Teman-teman kamu, yang kaum 'pinter tapi belagak itu', langsung nyahut, "Ya ampun, dia anak kepala sekolah tapi kok nilainya jelek terus, sih, apa ngga diajarin ngitung sama orang tuanya, apa ngga dilesin, ya masa bapaknya kepala sekolah anaknya remed terus." Nyinyiran yang ngga berhenti, sahut-menyahut dari anak satu ke yang lainnya.
Kamu melihat dia dari jauh, dari tempat duduk kamu. Dia cuma menunduk, mungkin mau nangis, tapi sebisa mungkin ditahan. Kamu jadi ikut sedih, bagaimana pun, dia juga pernah dan selalu baik ke kamu. Kamu ngga tau rasanya, karena kamu murid pintar. Tapi kamu tau rasanya, ketika kamu ngga bisa sesuatu, dan kamu dihina sama orang lain. Karena kamu kan juga sadar, kamu sangat buruk saat disuruh memasak.
Tiba-tiba, entah ada kekuatan dan keberanian apa dari dalam diri kamu, kamu ikutan nyahut, kamu bilang, "Eh, tapi dia masih mending, loh, daripada aku!"
Seisi kelas menoleh ke arahmu, "Hah, serius? Masa nilai kamu lebih jelek dari dia, bukannya selama ini kamu bagus terus, ya?"
Kamu tersenyum, ini bagian dari rencanamu. Jawaban yang memang sengaja kamu pancing dari awal tadi. Lantas, kamu dengan lantang bersuara, "Iya, bukan soal nilai, sih. Karena kita, kan beda-beda. Nilai dia di matematika mungkin ngga besar, tapi coba liat deh, wah, nulis dia keren banget. Blognya udah dapet 10 ribu kunjungan lebih. Tulisannya mengalir, cara dia bercerita mengagumkan banget. Aku sih mana bisa gitu, bikin cerpen aja berantakan,"
Temanmu, yang dihina seisi kelas tadi, menatap ngga henti-henti ke kamu. Dia menangis, dia ngga nyangka kamu bilang itu semua.
Kamu lanjut mendekat ke tempat duduknya, di paling ujung sana, kamu bilang, dengan suara sedikit lebih pelan dari yang tadi, tapi sebisa mungkin kamu buat agar tetap terdengar yang lain, "Mama kamu penulis kan, ya? Makanya kamu nulisnya keren banget gitu. Mama aku jago masak, tapi sampe sekarang aku ngga bisa tuh masak, bisanya makan aja."
Kamu lantas memeluknya. Teman-teman kamu semuanya terdiam. Teman kamu yang dihina tadi mengucap terima kasih dari tatapan matanya. Dia ngga menyangka, kamu menolongnya. Kamu menolongnya bahkan dengan cara yang manis sekali.
Nah, the end. Cerita di bab ini tamat. Kurang lebih begitu. Ngga saya lebihin karena ngga mungkin juga saya spoiler karya orang yang udah ditulis susah payah. Yang saya ingin bagi, adalah nilai; nilai baik di cerita ini. Mungkin dari kita ada yang relate, entah jadi tokoh 'kamu', entah jadi sosok si teman yang dihina, atau bahkan kita bagian dari anak-anak yang 'pinter tapi belagak'. Saya mau bilang, mungkin kita merasa kelebihan kita atas sesuatu bikin kita punya dan ngerasain kepuasan lebih banyak dari orang lain. Mungkin kita ngerasa semua ilmu yang kita dapat itu karena usaha kita belajar mati-matian sendiri. Padahal, kalau kita mau sadar, bahwa semua ilmu datangnya dari Allah, dan bisa diambil kapan aja Allah mau, kita ngga bakal ngerasa lebih dari siapa pun lagi.
Mungkin, ilmu kita, kita pikir di sisi lain juga belum seberapa. Tapi, coba, deh, yang 'belum seberapa bagi kita' itu, ditransfer 'satu per satu' ke teman-teman lain yang belum paham. Pasti mereka ngerasa yang kita ajarin itu adalah kebaikan yang nilainya lebih dari apa pun. Kebaikan yang menurut mereka sangat besar, dan jauh lebih besar daripada kita traktir mereka makan enak setiap hari.
Kebaikan yang mungkin bagi kita kecil banget, kita ngga perlu ngeluarin tenaga buat itu, tapi terkenang selamanya; terkenang dan jadi doa-doa yang tanpa sadar abadi, dan menolong kita setiap hari.
Kata-Kata Menjelma Ribuan Kereta, Pesawat, dan Kapal
by
Iqlima Hawa
- January 17, 2022
Selalu tidak bisa tidur malam adalah musibah yang menyenangkan. Hal-hal dalam kepalaku menjelma ribuan kereta, pesawat, kapal; berjalan sama-sama dan berdekatan. Aku tidak pernah mengutuk diriku mengapa menjadi pemalas dan suka begadang. Aku justru jatuh cinta pada kenyataan bahwa begadang ternyata memberiku perasaan-perasaan keren yang banyak sekali.Seseorang, seseorang, dan seseorang yang jika terus...