Kita Tak Butuh yang Sempurna dalam Hidup
Dulu, kupikir seseorang akan mencintaiku karena aku mengagumkan. Sebuah bintang terbenderang. Cerdas, begitu membanggakan jika dimiliki. Aku pikir, bintang itu akan selalu terang. Tak akan pernah padam, apalagi oleh hal-hal di luar dugaan.
Semesta, perkenalkan, aku Natta. Bintang yang juga mencintai bintang. Seorang Irawan, pendebat ulung yang bolak-balik mengalahkan semua orang. Seorang Irawan, yang dicintai banyak sekali perempuan.
Irawan, tak pernah bisa didapatkan dengan mudah. Dengan cara-cara terlampau sederhana yang sama sekali tidak berkelas. Irawan justru jatuh cinta pada puisi, sastra, semua hal dengan keindahan. Aku pandai membuat puisi, tapi bukan aku yang dicintainya.
Puisi-puisi punya cinta, dia punya cinta, dan aku punya cinta. Tapi kami semua tak bertemu. Ibarat planet-planet yang punya garis edarnya sendiri. Jika disatukan, yang akan datang selanjutnya adalah kehancuran.
Sebagai Natta, sudah biasa aku mendapati namaku terpampang sebagai juara ini-itu. Sertifikat-sertifikat yang terlampau menumpuk. Piala-piala yang terlampau berdesakkan. Menjadi yang terbaik tidak pernah jadi hal sulit. Tapi, seperti semua orang yang pernah hidup, aku tak pernah tepat menebak, suatu hari bintang itu pecah. Jadi serbuk-serbuk kecil yang remeh. Begitu sia-sia.
Kala itu, aku dibentak oleh seseorang. Barangkali tidak perlu disebut siapa. Sebab, mengingatnya adalah anak panah yang dilepas tepat ke jantung. Menghujam dalam di titik yang tak terbayangkan. Kedekatan, status sedarah, tak menjamin seseorang tak akan jahat kepadamu, bukan? Justru yang dekat, yang paling tahu, celah mana yang paling rapuh dari dirimu. Yang ya ... tak semua orang sadar.
Hal-hal sepele, terlamapu sepele buat dijadikan alasan membentak. Aku waktu itu, adalah gadis yang mahir bermain piano. Terlatih sejak kecil. Lagu-lagu mengalun indah dari jemariku. Jemari yang kemudian, orang tak berperasaan itu pukul, karena aku bilang, “Pa, seharusnya mainnya enggak gini. Sini aku ajarin.” Anak sombong dan belagak katanya. Bentakan yang berujung terlemparnya buku not lagu ke wajahku. Barangkali, wajahku tak sakit. Tapi jauh, jauh di dalam diriku, ada sakit yang melebih berdarah. Anak-anak panah yang dilepas dalam satu tarikan. Menghujam bersama-sama.
Sejak kejadian itu, aku tak melihat orang-orang terdekat sebagai malaikat penjaga. Aku tak bisa meliat selain semua kesalahan di depan mata. Membuka kesalahan-kesalahan lama, diputar seperti kaset tua yang rusak, dan kau tak suka mendengarkannya.
Satu kejahatan fatal menghapus kebaikan-kebaikan sepanjang hidup. Kebaikan yang sejak dulu tak pernah kuminta, padahal sudah diusahakan susah payah. Aku menyadari diriku hempas dalam ombang-ambing gelombang yang tak jelas. Suasana hati yang naik-turun, seperti kau berada di puncak gunung tinggi, lalu sesaat menyelam dalam ke samudera. Perasaan yang bingung dengan dirinya sendiri.
Dulu, waktu SMP, tak sengaja sebuah utas di Twitter tentang self harm, lewat di timeline-ku. “Demi apa, Natta, hanya orang-orang payah yang begitu!” Orang-orang kuat tak mungkin sengaja, menyayat-nyayat tangan sendiri, berharap semua lebih baik setelahnya. Orang-orang kuat tak menjedotkan kepala ke tembok, sambil menangis, marah, seperti kerasukan setan. Pikiran-pikiran terlalu bodoh, seperti tidak kedengaran sebagai pikiran manusia yang punya nurani. Sebab, sekarang, setelah aku lalui sendiri, self harm memang bisa menjelma penolong. Jalan pintas buruk yang membuatmu seketika lebih baik. Kepuasan-kepuasan temporer yang melegakan.
Sama seperti siapa pun, aku juga tak mau mengambil jalan, sebagai pecundang yang lebih pantas diteriaki dan mati. Sebagai manusia yang di tangannya tidak lagi menggengam harapan barang satu butir. Cutter yang tajam, benda kecil yang meski menyakitkan tapi tak setajam mulutnya. Besok, setelah semua orang melihat aku tergeletak menyedihkan, penuh darah, mungkin baru hal-hal akan jelas. Betapa, kan, manusia di dunia tak butuh apa-apa selain pelukan.
Aku melupakan sekolah, menulis, semua kesukaan jadi rasa hambar di tiap wajah hari. Masakan tak menarik yang tak akan kucicipi lagi. Hidup katanya baik hati, tapi hidup juga menjemput duka-duka yang tak sedikit. Hidup tidak cukup sayang padaku. Padahal dulu aku selalu memuja hidup, Oh, betapa Tuhan baik sekali, aku jadi manusia sempurna yang cantik, pintar, seluruh dunia senang dengan kehadiranku. Padahal dulu aku gadis yang pandai bersyukur, sebab hidup memberiku terlalu banyak. Tapi kini aku lupa. Lupa yang sengaja kubuat demi perasaanku baik-baik saja. Barangkali, besok dengan tiada lagi, kesakitan akan menguap, jadi debu-debu lembut tak kasat mata. Aku tak terlihat lagi.
Aku mengurung diri. Menolak makan, buat apa makan tapi kita tak merasakan penuh pada tempat-tempat kecil yang lain dalam diri kita. Kita tak merasa penuh sekali pun cuma di hati. Aku berharap, seorang saja, tolong, aku butuh kehadiran yang lebih dari sekadar datang sekejap. Mohon, seseorang siapa pun itu, kirim satu pesan, yang ketika aku membacanya, aku merasa mau lagi bersemangat. Pesan-pesan kecil yang berharga. Lalu ...
“Assalamualaikum, Natta,”
Aku tak mengira di saat-saat hidup paling redup, di saat kau tak meyakini lagi Tuhan ada atau tidak, Tuhan justru menjawab pertanyaanmu seperti guru yang ya .... lekas dan cekatan.
Irawan. Setidaknya begitu yang ditampilkan layar ponsel. Nama yang dulu pernah kusimpan jauh, dan terlampau. Nama yang ternyata hari ini hadir lagi, seperi Tim SAR menyelamatkan seorang yang baru saja akan jadi calon mayat.
“Kamu di mana, kok enggak keliatan?” Pertanyaan manis yang seharusnya tak ditanyakan saat aku tak bisa lagi tahu, manis itu sebuah bentuk yang bagaimana.
“Aku sakit, udah lama opname, Wan, hehe,” Bukankah menambahkan ‘hehe’ di setiap akhir percakapanmu adalah siasat, supaya semua kabar terdengar baik-baik saja. Tidak perlu ada cemas, tidak perlu ada khawatir.
“Syafakillah, Nat,” Dan bukannya, mendoakan, dan kau tahu bahwa kau yang sedang didoakan oleh seseorang yang bagimu berarti, adalah jalan-jalan menuju kesembuhan? Yang sudah dengan suka cita seharusnya kau susuri, begitu tenang, ikhlas.
Tertidur dengan merasa bahwa kau begitu dicintai, bukannya damai yang paling siapa pun suka? Aku tak pernah merasakannya seumur hidup. Dan hari ini, Tuhan baik hati sekali mengizinkan aku tertidur dengan perasaan itu.
Irawan rajin mengirimiku pesan. Supaya Natta sembuh. Supaya Natta bisa sekolah lagi. Irawan pernah mengirim pesan suara, yang entah bagaimana pun aku mendengarnya, aku merasa pesan itu salah kirim,
“Natta aku suka sama kamu. Kamu cepet sembuh,” Tapi pesan itu menyebut nama Natta. Pesan itu jelas buatku.
Satu bulan kemudian, oh ya, aku baru ingat memberi tahumu, beberapa waktu lalu, akhirnya aku mengunjungi psikiater. Aku tak cukup kuat berpura-pura tak ada sesuatu pun yang menimpa hidupku. Aku rasa meminta pertolongan bukanlah disebabkan karena kau payah, tapi karena kau tahu, untuk hidup, kita memang harus sesekali ditolong. Bercerita pada psikiater, menumpahkan semua yang meluap-luap dalam hati, ya meskipun aku tak tahu, setelahnya semuanya akan membaik atau tidak.
Aku pernah membaca sebuah artikel, yang mengatakan bahwa, menemukan seorang terapis yang mau mendengarkan semua ceritamu adalah harta yang ketika kau tukar dengan apa pun, hasilnya tak mungkin sebanding. Your mental health matters. Kesehatan mentalmu berarti. Kesehatan mentalmu adalah teman kecil, yang harus kau pelihara dengan tangan-tangan yang menyayangi. Besok, suatu hari nanti, ia akan tumbuh besar, jadi anak yang melindungimu dari segenap marabahaya. Kesehatan mental yang baik, semoga akan membawaku menuju pintu-pintu yang berakhir tempat menyenangkan.
Psikiater tak memperbolehkanku masuk sekolah hingga sebulan. Hari-hari berlalu membosankan. Aku senantiasa berdoa waktu lekas terbang. Aku ingin bertemu Irawan.
Irawan bukan anak yang tampan, tapi kecerdasannya barangkali bisa dipertimbangkan ketika kau ingin menjadikannya kekasih. Kecerdasan yang rendah hati, diam, tak ia suarakan pada dunia. Biar dunia sendiri yang tahu betapa cerdas ia. Biar untuk kali ini dia tak perlu membuktikan apa-apa.
Akhirnya hari bersekolah kembali tiba. Aku tak sabar melihat wajah Irawan, menatapnya, memperhatikan bagaimana matanya menatapku. Aku ingin punya kekuatan yang mengalir dari sana. Kekuatan yang ketika aku memilikinya, aku tak merasakan membutuhkan apa-apa lagi di dunia.
Karena absen lama, tugas-tugasku begitu menumpuk. Harus susulan dengan diakali, mana yang lebih dahulu masuk jadwal hari ini, besok, seterusnya, seterusnya. Irawan menemani seperti seorang sahabat, dia mendikte apa pun yang butuh kuketik, meminjami earphone saat aku butuh, dan aku tahu, jika selamanya bersamanya, mungkin pelan-pelan kesembuhan bukanlah benda mustahil.
Perpustakaan seolah jadi mata yang memadang, dua anak manusia saling mencintai, meski salah satu sedang kesakitan sekali. Beberapa teman laki-lakinya berungkali melontarkan cie-cie saat kami kelihatan sedang bersama. Cie-cie, yang tentu kuterima dengan hati berbunga-bunga sekali.
“Cie rezeki anak soleh ya, Bos,” Aku tak tahu baginya aku adalah rezeki atau bukan. Tapi dia sungguhlah rezeki bagiku. Rezeki yang tak mungkin kupinjamkan pada siapa-siapa barang sehari.
Irawan tahu betul, bagaimana keadaan mentalku, dia tahu betul ketika tiba-tiba tempo bicaraku menjadi sangat cepat –yang berarti saat itu aku sedang kambuh—Dia tak punya serangkaian upaya romantis untuk memenangkan hatiku, semuanya mengalir dengan wajar, dan ya, manis, manis sekali.
Kau tahu apa yang paling indah dari hidup? Adalah ketika dua orang saling mencintai, dan semesta memandang mereka berdua dengan tatapan yang punya restu. Ketika dua orang itu tak peduli bagaimana pun suatu hari nanti mereka dipisahkan, mereka tetap punya rasa sayang yang lebih luas dari lautan. Dan aku beruntung sekali punya Irawan. Dan aku tahu, dalam hatinya, Irawan pun merasakan keberuntungan yang sama.
Kita tak butuh segala hal yang sempurna supaya punya kisah cinta yang sempurna. Kita pun tak perlu memilih orang-orang yang sempurna demi semua dalam hidup terlihat mengagumkan. Hari ini, aku menulis kisahku sendiri dengan air mata tertahan. Oh Tuhan, betapa aku punya cinta yang hebat sekali, cinta yang Kau beri padahal aku tak tahu bagaimana lagi kembali menujumu. Cinta yang terlampau mengagumkan bahkan untuk sekadar ditulis dalam kata-kata. Dan untuk yang terakhir kalinya Tuhan, izinkan aku mengakhiri semua tulisan ini, dengan tangis yang ruah. Aku tidak kuasa tidak menangis. Aku tidak kuasa ketika aku diberi banyak sekali, dan aku tak menangis.