Belajar Berwirausaha dari 'Memberdirikan Telur'
by
Iqlima Hawa
- April 27, 2020
Tulisan ini bukan bertujuan untuk mengajari pembaca cara berwirausaha yang baik, karena saya pun belum mahir--hanya dulu sempat berjualan kecil-kecilan isi pulpen gel di sekolah dan keuntungannya belum seberapa.
Namun saya mengetik tulisan ini karena ingin berbagi kisah tentang salah satu pengalaman paling berharga saya selama belajar di SMA.
Jadi, pelajaran ini termasuk ke dalam mapel PKWU (Prakarya dan Kewirausahan). Di mapel ini kami diajarkan cara membuat karya, baik benda, seperti tas, boneka, makanan, atau apapun yang memiliki nilai jual. Kami yang membuat, kami juga yang mempromosikan dan menjual. Termasuk dalam mendesain label kemasan.
Nah, tapi pelajaran semester lalu itu berbeda. Pada hari Selasa itu harusnya kami ulangan harian bab budidaya unggas petelur, tetapi guru kami memberi materi belajar lain. Saya yang kebetulan belum siap ulangan hari itu pun senang dan ternyata dua jam pelajaran di kelas itu sangat mengesankan.
Pak guru memasuki kelas dengan menjinjing dua kantong kresek. Kantong pertama berisi dua puluh paku berukuran besar dan kantong kedua isinya sekitar sepuluh butir telur (ayam kampung, broiler, dan burung puyuh).
Kami sebagai siswa kelas dua belas saat itu bertanya-tanya, juga menebak-nebak; untuk apa ada paku dan telur-telur pada pelajaran kali ini.
Akhirnya Pak guru berbicara,
"Tugas kalian hari ini dibagi dua. Bagi kelompok 1-3 tugasnya adalah merangkai dua puluh paku ini. Dengan syarat satu paku menopang sembilan belas paku lainnya. Sedangkan kelompok 4-6 diberi tugas untuk memberdirikan telur-telur ini di atas lantai. Saya beri waktu sampai jam pelajaran PKWU selesai. Kalian bebas menggunakan akal pikiran kalian untuk bisa menyelesaikan tugas ini. Saya ke ruang guru dulu nanti saya kembali lagi ke sini."
Kami memutar otak bagaimana cara menyelesaikan tugas tidak biasa ini. Kelompok saya mendapat bagian memberdirikan telur. Di pikiran saya sebelum itu, hal ini tentu lebih mudah dari pada merangkai paku.
Kami sekelas langsung beraksi.
Anak-anak langsung menyebar untuk membedirikan telur. Ada yang di lantai depan yang biasa digunakan untuk presentasi, ada yang di sudut belakang ruang kelas, juga ada yang mencoba di lantai antara bangku-bangku.
Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit, belum ada yang berhasil membuat telur tegak berdiri. Padahal kami sudah mencoba berbagai macam cara. Fokus menatap telur lekat-lekat, berganti-ganti posisi badan mulai dari duduk hingga tiduran di lantai. Beberapa anak tampak ingin menyerah termasuk saya. Sedangkan anak-anak lain masih berusaha, penasaran.
Hingga akhirnya, seorang anak setelah mencoba cukup lama berhasil,
"Yeay, bisa!" serunya, teman-teman kelompok lain berkerumun. Semakin tersulut semangatnya untuk segera membuat telur-telur ini tegak berdiri. Sedang saya sih frustasi hehe, karena orangnya tidak sabaran.
Beralih dari urusan telur, ternyata kelompok perangkai paku pun berseru,
"Yes, akhirnya bisa juga!" Anak-anak kelas pun segera menghampiri, benar-benar takjub melihat satu paku dapat menopang sembilan belas paku lainnya. Suatu hal yang bagi saya tadinya sangat mustahil.
Kembali ke telur. Sudah satu jam lebih, dan ... TELUR SAYA BELUM BERDIRI!
Padahal satu persatu anak sudah mulai berhasil menyelesaikan tugas ini. Bahkan ada satu anak yang fokusnya dan sabarnya luar biasa mampu memberdirikan lebih dari tiga elur dalam waktu singkat. Ah, ya, kenapa punya saya tidak berdiri-diri.
Ada teman saya juga yang sampai mengacak-acak rambut dan tertawa saking lama sekalinya telur itu bisa berdiri. Baru diletakkan di lantai, menggelinding. Sudah ditekan perlahan dengan jari-jari, masih berguling juga. Duh, Gusti, bagaimana caranya? Tapi selang beberapa menit dia berhasil.
Tinggal saya yang belum. Saya sudah tidak peduli dengan telur saya, mulai menyerah dan beralih melihat kesuksesan teman-teman saya.
Tidak lama kemudian Pak guru datang,
"Bagaimana anak-anak, sudah bisa?"
"Ada yang sudah bisa, Pak."
"Yang merangkai paku sudah jadi?"
"Sudah, Pak,"
"Ceritakan bagaimana caranya coba,"
"Mm, tadi sudah mencoba, Pak, tapi sulit. Akhirnya kami buka google dan menemukan caranya. Dicoba ternyata bisa."
"Lo, dari google ternyata. Saya sengaja meninggalkan kelas untuk menguji seberapa kreatif dan jujurnya kalian dalam mengeksplorasi akal kalian, ternyata masih saja buka google, hehe."
"Saya kasih gambaran sedikit. Dalam berwirausaha, itu diperlukan waktu. Tidak bisa instan. Kecil kemungkinan baru membuka usaha langsung berhasil. Kecuali memang yang menggunakan cara tidak jujur. Tapi nggak papa, buat pelajaran. Jadi entrepreneur itu harus kreatif dan inovatif yaa."
"Bagaimana dengan yang telur, sudah bisa?"
"Sudah, Pak."
Tapi ada juga yang menjawab belum, termasuk saya.
Akhirnya karena merasa belum dan waktu sisa sepuluh menit lagi, saya mencoba lagi. Tapi di detik-detik terakhir ini justru saya tertawa-tawa. Ya, menertawakan kebodohan saya kenapa belum juga bisa membuat telur itu tidak menggelinding saat saya lepaskan dari jari-jari saya.
Pak guru memperhatikan telur-telur yang berdiri di lantai. Ya Tuhan, telur sebanyak itu bisa berdiri semua dan menghiasi lantai dengan cantik, sedang punya saya belum.
Akhirnya Pak guru berkata lagi,
"Ya, anak-anak, dalam berwirausaha juga butuh kesabaran dan fokus yang tidak sedikit. Ketika telur jatuh, diberdirikan lagi. menggelinding, ditegakkan lagi. Kalau usaha kita gagal dan berhenti di tengah jalan, harus mau berusaha mencoba lagi. Sampai ke kegagalan yang sekian kali tetap harus bangkit lagi."
"Juga fokus dan semangat berjuangnya, jangan bermain-main terus. Kan lucu, telur belum berdiri sendiri, eh malah ketawa-tawa." sambungnya kemudian. Yang fix ... membuat saya sadar diri hehe.
Terima kasih, Pak, untuk pelajaran berharga ini.