Kita Harus Pandai-Pandai Men-switchnya
Mengutip kalimat Firnita dalam bukunya, Strings Attached, "I write better when I'm alone. I'm better when I'm alone," saya jadi merasa bahwa hal ini relate dengan saya. Menulis adalah proses yang selama ini lebih 'bekerja' dengan baik ketika saya melakukannya sendirian. Bahkan dalam konteks lebih luas, beberapa hal memang lebih suka saya lakukan sendirian.
Membaca buku dan artikel-artikel seorang diri di sudut kamar, memasak mi tengah malam lalu makan sampai habis ketika seisi rumah sudah tidur pulas, mendengarkan podcast, mencoba-coba belajar hal baru, rasanya saya lebih suka melakukannya bersama diri saya sendiri. Saja.
Terdengar arogan, tapi saya hanya tidak nyaman ketika berada bersama orang lain. Ketika nongkrong-nongkrong. Ketika diajak makan bersama. Seperti percakapan terasa kaku dan beku jika saya berada di dalamnya. Yang ujungnya saya jadi merasa bersalah telah hadir di antara mereka. Saya sempat mengutuk diri saya dalam waktu lama karena social skill saya yang buruk. Sangat buruk. Akhirnya saya mencoba menjadi diri saya yang lain dengan mengizinkan semua orang masuk dan berbaur dalam hidup saya. Sebagai sebuah bentuk eksperimen apakah saya bisa lebih luwes lagi menjadi manusia.
Tapi selayaknya setiap pengalaman keluar dari zona nyaman, energi saya cepat habis. Suasana hati saya seperti roller coaster. Ketika percakapan berjalan menyenangkan, saya berada di puncak, tapi ketika saya sudah mulai menangkap pembicaraan yang terlalu 'rentan', saya langsung merasa jatuh dari puncak yang ketika di sana tadinya saya sudah bahagia sekali.
Namun, menjadi individu yang terlalu senang sendirian di sisi lain juga menyakitkan, sebenarnya. Karena saya juga manusia yang banyak kurangnya, banyak pula kebodohan-kebodohan yang tidak bisa saya sulap agar diri saya menjadi mahir seketika, membuat saya kadang sangat butuh teman. Beruntung, meski saya seringkali canggung dalam hubungan pertemanan, sahabat-sahabat saya tetaplah ada. Mereka bahkan selalu ada dalam waktu-waktu terburuk saya.
Akhirnya saya berpikir, bahwa lumrah jika kita sebagai manusia hanya nyaman dengan orang-orang tertentu. Dengan topik obrolan tertentu. Dengan deeptalk dalam waktu-waktu tertentu. Lumrah untuk mempunyai dua 'mode hidup'. Mode sendiri dan mode bersama dengan orang lain. Karena pada dasarnya, seorang introvert tetap punya sisi ekstrovertnya dalam porsi tertentu, meski tidak dominan, begitu juga sebaliknya.
Sehingga barangkali saya tidak ingin terus menerus melabeli diri saya dengan label-label individualis, introvert, socially awkward, dan semacamnya itu, sehingga saya tidak bisa mencapai versi terbaik saya. Jangankan versi terbaik, versi satu persen lebih baik pun belum tentu dapat saya capai karena sudah telanjur stuck dan menganggap bahwa saya bukanlah manusia yang dinamis. Seperti halnya manusia-manusia lain, yang terus belajar, terus berbenah, terus memperbaiki hal-hal yang masih kurang.
Kembali ke paragraf pertama, menulis memang lebih nyaman dilakukan sendiri. Membaca pun begitu. Kedua hal ini butuh fokus dan perhatian penuh, dalam pandangan saya. Tapi berdiskusi bersama teman-teman, orang-orang terbaik, tentang tulisan dan buku-buku kesukaan, adalah hal yang membahagiakan juga. Saya mengalaminya. Saya punya orang-orang terdekat dimana kegiatan-kegiatan berliterasi ini menjadi topik obrolan yang menyenangkan.
Dua mode hidup, sekali lagi. Kita harus pandai-pandai men-switchnya.
0 comments