"Eh, Masa Kamu Gini Aja Ngga Bisa?"
by
Iqlima Hawa
- January 19, 2022
Malam ini saya tengah menyelesaikan membaca buku Rahasia agar Tak Mudah Dilupakan, karya Kak Kartini F. Astuti. Sudah saya baca sejak lama, tapi karena hobi saya membaca banyak sekali buku dan berganti-ganti terus dalam satu waktu, buku itu saya biarkan lama ngga disentuh. Tapi, malam ini saya tiba-tiba ingin membacanya lagi, dan ada satu bab yang buat saya menangis. Benar-benar menangis dan terharu, dan, ah, apa ya, pasti kamu pernah kan, baca buku, atau dengar lagu, nonton video, dan ada satu hal dari mereka yang benar-benar masuk dan menyentuh hati kamu.
Judul babnya "Segera Pura-Pura Bodoh Saat Orang Lain Merasa Bodoh". Saya mau spill dikit deh inti ceritanya, pakai bahasa dan cara penyampaian saya sendiri. Menurut saya, makna bab ini harus diketahui lebih banyak orang lagi. Makna yang sering dilupakan, apalagi oleh kita yang 'pintar dan cemerlang'.
Kamu pernah ngga, posisinya di sini kamu murid yang pinter, nih; nilai kamu selalu bagus. Matematika, fisika, yang teman-teman kamu semuanya takut, tapi kamu justru tertantang, dan nganggep itu semua lebih ke latihan yang akan buat kamu makin berkembang, alih-alih mata pelajaran yang ditakuti dan bikin deg-degan pas ujian. Di kasus ini, kamu kan 'lebih' ya, dari teman-teman lain di kelas. Kalau pas nilai ujian dibagi, kamu ngga pernah cemas dan takut, ngga seperti teman-teman kamu.
Nah, ada nih, satu, teman kamu, orangnya baik banget. Kamu dan dia berteman baik. Tapi dia, ngga punya 'kelebihan' seperti kamu. Dia sulit buat ngerti dan paham pelajaran, seperti kamu ngerti semuanya. Ketika kamu udah belajar limit trigonometri nih misalnya, dia justru konsep sin, cos, tan, aja masih kebalik-balik. Tapi dia baik, kamu suka temenan sama dia, dia sering berbagi banyak yang dia punya ke kamu. Dan kamu juga ngga segan berbagi yang kamu tau ke dia.
Nah, di hari pembagian hasil ujian matematika, seisi kelas tegang. Kamu ya, tetap ada rasa tegang sih, tapi ngga besar. Kertas ujian dibagi oleh ketua kelas kamu. Ada berbagai macam ekspresi saat nilai di kertas ujian dilihat. Bersyukur, lega, sampai yang marah, nangis, kecewa, dan ujung-ujungnya ngebuang kertas itu ke laci meja. Kamu bersyukur karena nilai kamu 87, bagus lah, lumayan. Teman-teman kamu, yang kaum anak 'pinter', tapi ya 'belagak' juga sih, saling tanya-tanya, "Eh kamu dapet berapa, eh si dia sama si itu besaran siapa, liat dong liat!"
Tiba saatnya, pertanyaan itu sampai, ke teman kamu. Teman kamu yang baik banget tadi. Dia malu, dia mau bilang tapi malu. Teman-teman kamu, yang kaum 'pinter tapi belagak itu', langsung nyahut, "Ya ampun, dia anak kepala sekolah tapi kok nilainya jelek terus, sih, apa ngga diajarin ngitung sama orang tuanya, apa ngga dilesin, ya masa bapaknya kepala sekolah anaknya remed terus." Nyinyiran yang ngga berhenti, sahut-menyahut dari anak satu ke yang lainnya.
Kamu melihat dia dari jauh, dari tempat duduk kamu. Dia cuma menunduk, mungkin mau nangis, tapi sebisa mungkin ditahan. Kamu jadi ikut sedih, bagaimana pun, dia juga pernah dan selalu baik ke kamu. Kamu ngga tau rasanya, karena kamu murid pintar. Tapi kamu tau rasanya, ketika kamu ngga bisa sesuatu, dan kamu dihina sama orang lain. Karena kamu kan juga sadar, kamu sangat buruk saat disuruh memasak.
Tiba-tiba, entah ada kekuatan dan keberanian apa dari dalam diri kamu, kamu ikutan nyahut, kamu bilang, "Eh, tapi dia masih mending, loh, daripada aku!"
Seisi kelas menoleh ke arahmu, "Hah, serius? Masa nilai kamu lebih jelek dari dia, bukannya selama ini kamu bagus terus, ya?"
Kamu tersenyum, ini bagian dari rencanamu. Jawaban yang memang sengaja kamu pancing dari awal tadi. Lantas, kamu dengan lantang bersuara, "Iya, bukan soal nilai, sih. Karena kita, kan beda-beda. Nilai dia di matematika mungkin ngga besar, tapi coba liat deh, wah, nulis dia keren banget. Blognya udah dapet 10 ribu kunjungan lebih. Tulisannya mengalir, cara dia bercerita mengagumkan banget. Aku sih mana bisa gitu, bikin cerpen aja berantakan,"
Temanmu, yang dihina seisi kelas tadi, menatap ngga henti-henti ke kamu. Dia menangis, dia ngga nyangka kamu bilang itu semua.
Kamu lanjut mendekat ke tempat duduknya, di paling ujung sana, kamu bilang, dengan suara sedikit lebih pelan dari yang tadi, tapi sebisa mungkin kamu buat agar tetap terdengar yang lain, "Mama kamu penulis kan, ya? Makanya kamu nulisnya keren banget gitu. Mama aku jago masak, tapi sampe sekarang aku ngga bisa tuh masak, bisanya makan aja."
Kamu lantas memeluknya. Teman-teman kamu semuanya terdiam. Teman kamu yang dihina tadi mengucap terima kasih dari tatapan matanya. Dia ngga menyangka, kamu menolongnya. Kamu menolongnya bahkan dengan cara yang manis sekali.
Nah, the end. Cerita di bab ini tamat. Kurang lebih begitu. Ngga saya lebihin karena ngga mungkin juga saya spoiler karya orang yang udah ditulis susah payah. Yang saya ingin bagi, adalah nilai; nilai baik di cerita ini. Mungkin dari kita ada yang relate, entah jadi tokoh 'kamu', entah jadi sosok si teman yang dihina, atau bahkan kita bagian dari anak-anak yang 'pinter tapi belagak'. Saya mau bilang, mungkin kita merasa kelebihan kita atas sesuatu bikin kita punya dan ngerasain kepuasan lebih banyak dari orang lain. Mungkin kita ngerasa semua ilmu yang kita dapat itu karena usaha kita belajar mati-matian sendiri. Padahal, kalau kita mau sadar, bahwa semua ilmu datangnya dari Allah, dan bisa diambil kapan aja Allah mau, kita ngga bakal ngerasa lebih dari siapa pun lagi.
Mungkin, ilmu kita, kita pikir di sisi lain juga belum seberapa. Tapi, coba, deh, yang 'belum seberapa bagi kita' itu, ditransfer 'satu per satu' ke teman-teman lain yang belum paham. Pasti mereka ngerasa yang kita ajarin itu adalah kebaikan yang nilainya lebih dari apa pun. Kebaikan yang menurut mereka sangat besar, dan jauh lebih besar daripada kita traktir mereka makan enak setiap hari.
Kebaikan yang mungkin bagi kita kecil banget, kita ngga perlu ngeluarin tenaga buat itu, tapi terkenang selamanya; terkenang dan jadi doa-doa yang tanpa sadar abadi, dan menolong kita setiap hari.