Tentang Prasangka Baik
Awalnya saya pikir, berprasangka baik itu sia-sia. Kegiatan ini layaknya mencoba secara paksa agar hal-hal buruk yang menyelimuti kepala saya, dikonversikan ke dalam bentuk lain yang lebih 'positif' seketika. Mengalihkan ke yang lebih baik intinya. Namun, hari ini, saya merasa beruntung karena saya mempercayai sebaliknya.
Iya, bukan hal sia-sia ketika saya mencoba melihat suatu hal dengan prasangka yang positif. Pernah ada satu masa, saya sebal dengan dering notifikasi aplikasi chat. Seolah saya sedang dikejar-kejar, harus stay bersama ponsel, dan berada dalam percakapan, yang sebetulnya beberapanya, tidak saya suka.
Hari ini, saya melakukan kemajuan yang ingin saya apresiasi karena menjawab chat dari teman-teman saya dengan antusias, dan bahkan seperti merasa terkoneksi kembali dengan mereka. Dengan dunia luar.
Mengenai prasangka baik lainnya, izinkan saya bercerita. Dua puluh hari yang lalu, saya melakukan telemedicine dengan dokter saya. Menceritakan keluhan-keluhan yang panjang dan berentet-rentet. Lalu tebak, dokter saya bilang apa?
"Mba Iqlima saat ini butuh untuk menerima. Obat-obat semacam ini memang menyebabkan beberapa keluhan fisik. Lemas, dada sesak dan berdebar, pusing, mual, memang begitu. Tapi nanti, akan hilang dengan sendirinya. Muncul lagi, hilang lagi ..."
"Tapi apakah, Mba Iqlima sampai menangis sendirian di kamar?"
Seolah membaca pikiran saya. Saya mengiyakan dan saya jawab saya menangis di kamar setiap hari.
"Dialihkan, ya. Salah satu terapinya adalah memperbanyak interaksi dengan teman-teman. Meskipun bagi Mba Iqlima sulit, tapi jangan mengurung diri di kamar."
Saya mengangguk-angguk. Padahal hati saya bilang, "Hei, ini sulit sekali. Saya bahkan sedang ada di tahap malas ngomong."
Lalu, di mana letak berprasangka baik nya? Belum ada, tunggu, ceritanya masih panjang.
Jadi, berhari-hari setelah telemedicine, saya tetap menangis di kamar. Merasa penderitaan bertubi-tubi menimpa saya. Merasa juga, bahwa diri saya tidak cukup becus untuk meregulasi emosi dan perilaku.
Sampai kapan.
Sampai ... akhirnya, belakangan ini, teman-teman saya menghubungi saya. Beberapa bilang kangen, ingin main ke rumah, meminta tolong, dan berbincang-bincang.
Ternyata saya masih cukup berharga menjadi manusia. Statement ini melahirkan sebuah prasangka baik. Saya tidak benar-benar perlu untuk menyerah dan rendah diri berlebihan.
Saya memulai melakukan hal-hal yang bisa mengalihkan pikiran buruk, menyiram tanaman-tanaman cabai di depan rumah, mencuci piring, beres-beres, membeli buku yang saya suka, dan ... sesekali menanggapi candaan yang dilontarkan anggota-anggota keluarga.
Saya cukup menikmatinya.
Cerita ini sebetulnya sederhana. Tulisan ini juga tidak cukup baik untuk mengungkapkan semuanya. Tapi saya senang bahwa ternyata doa-doa saya tidak sia-sia dan selalu didengar-Nya.
Barangkali kita punya segenggam, atau bahkan bergenggam-genggam masalah yang rumit dan merasa bingung sekali dengannya. Lalu, melarikan diri terlihat seolah opsi yang baik untuk diambil. Kita semua pernah melarikan diri. Tapi, kita semua juga punya momen-momen tangguh menghadapi. Terimalah, jadikan pelajaran. Masalah adalah soal yang pelan-pelan bisa kita pecahkan.