Cerpen : Pesan Hujan
by
Iqlima Hawa
- November 15, 2017
Aroma petrichor menguar di teras depan kelas. Tetesan air terus turun sejak pukul tiga belas. Lantai-lantai basah. Menciptakan jejak sepatu ketika anak-anak berlalu lalang. Kebingungan hendak pulang atau menunggu reda. Di koridor dekat tangga, gadis enam belas tahun menatap hujan lamat-lamat. "Hm, petrichor."
Hujan angin membuat pepohonan menari-nari hebat. Di tengah sorak sorai anak-anak yang menyaksikannya, Dea memilih masuk kelas. Masih ada tugas yang harus dikerjakan. Tangannya sigap mengeluarkan buku tulis dari dalam tas. Juga sebuah bolpoin dan beberapa permen jahe yang selalu ia bawa. "Untuk sedikit menghangatkan."
Jarum jam seperti berjalan lebih lambat dari biasanya. Dea menulis jawaban-jawaban tugas dengan perlahan. Sesekali menengok keadaan langit di luar dari jendela. "Hujannya masih besar. Lebih baik aku selesaikan dulu." Gadis itu menyapu pandangan ke seluruh kelas. "Kelas ini menyenangkan dengan penghuni-penghuni yang ceria."
Anak-anak di teras sibuk memikirkan bagaimana caranya pulang. Berteriak kesal mengapa lupa tidak membawa mantel. Bertanya-tanya satu sama lain kapan hujan reda. Terus berdo'a. Hujan deras ini, semoga segera selesai.
Dea hampir menyelesaikan tugas setelah dua puluh menit berada di dalam. Dua puluh menit juga ketika tetes hujan yang deras berubah menjadi gerimis yang lembut. Gadis itu menengok. "Teman-teman sudah mulai pulang."
Dari kejauhan, Dewa berbalik, berlari terburu menuju kelas. "Duh, handphoneku!" Anak itu lupa jika tadi handphonenya masih di-charge di kelas. Semoga masih ada.
Dea hendak pulang saat Dewa tiba di pintu kelas.
"Kamu lihat ada handphone di kelas, De?"
"Engga,"
"Beneran? Tadi handphoneku masih di-charge. Aku lupa cabut," Dewa segera masuk, memeriksa stop kontak tempat handphonenya tadi di-charge. "Ya Tuhan, tidak ada!"
"Ngga ada, Dew?"
"Iya nih, gimana dong? Duh, kenapa sih aku bisa lupa?"
"Harusnya kamu ngga usah charge handphone di kelas. Bahaya emang kalau lupa,"
"Aduh, tapi ini kan udah terlanjur," Dewa kemudian memeriksa laci meja satu persatu. Kalau-kalau ada yang menyimpankan handphonenya.
"Nanti dan besok aku bantu cari. Sekarang ayo pulang!"
Dewa kesal karena kecerobohannya. Tapi akhirnya menurut. Lebih baik pulang. Rasanya sebal kalau dipikirkan terus.
Sepanjang jalan menuju gerbang becek, dengan lumpur yang menenggelamkan sepatu. Ya, dalam seminggu ini, hujan menjadikan setiap hari adalah hari mencuci sepatu. Menyebalkan memang, tapi bagaimanapun, hujan adalah kasih sayang Tuhan yang indah.
Dea dan Dewa berjalan bersisian. Di bawah gerimis, biasanya kepala akan lumayan pusing. Tapi lebih pusing lagi bagi anak laki-laki di samping Dea.
"Ah, kenapa sih bisa lupa cabut chargernya tadi,"
"Makanya jangan charge handphone di kelas. Rentan ketinggalan,"
"Ya terus gimana lagi, lowbat,"
"Solusi terbaik adalah kamu ngga usah bawa handphone ke sekolah,"
"Huh, aku kan butuh, buat tugas,"
"Perpustakaan menyediakan banyak buku buat itu," "Kita perlu membaca literasi yang luas, potongan-potongan artikel itu kadang membingungkan jika kita tidak punya dasar,"
"Iya, Bu Guru,"
"Lagipula, handphone tidak lebih penting dari teman-temanmu, sebenarnya,"
"Maksudnya?"
Dea tersenyum. Tidak berniat akan menjawabnya. Dewa memang belum tahu, kalau teman-teman rindu. Rindu pada sosok teman diskusi yang kritis. Seorang yang dulu rajin membaca dan memikirkan banyak hal bersama-sama dengan mereka. Ketika handphone tidak memiliki tempat saat berbincang dan bercanda di kelas. Semuanya terdapat dalam diri Dewa. Dulu. Dan satu hal lagi, sebenarnya, Dea merindukan saat-saat berdialog dengannya seperti ini, saling bertanya dan menjawab. Menanggapi satu sama lain. Lagi-lagi, saat handphone tidak lebih penting dari kehadirannya.
Dea menengok ke dalam tas sebentar.
"Handphone ini akan kembali, jika pemiliknya sudah kembali menyaksikan dunia nyatanya."
Hujan angin membuat pepohonan menari-nari hebat. Di tengah sorak sorai anak-anak yang menyaksikannya, Dea memilih masuk kelas. Masih ada tugas yang harus dikerjakan. Tangannya sigap mengeluarkan buku tulis dari dalam tas. Juga sebuah bolpoin dan beberapa permen jahe yang selalu ia bawa. "Untuk sedikit menghangatkan."
Jarum jam seperti berjalan lebih lambat dari biasanya. Dea menulis jawaban-jawaban tugas dengan perlahan. Sesekali menengok keadaan langit di luar dari jendela. "Hujannya masih besar. Lebih baik aku selesaikan dulu." Gadis itu menyapu pandangan ke seluruh kelas. "Kelas ini menyenangkan dengan penghuni-penghuni yang ceria."
Anak-anak di teras sibuk memikirkan bagaimana caranya pulang. Berteriak kesal mengapa lupa tidak membawa mantel. Bertanya-tanya satu sama lain kapan hujan reda. Terus berdo'a. Hujan deras ini, semoga segera selesai.
Dea hampir menyelesaikan tugas setelah dua puluh menit berada di dalam. Dua puluh menit juga ketika tetes hujan yang deras berubah menjadi gerimis yang lembut. Gadis itu menengok. "Teman-teman sudah mulai pulang."
Dari kejauhan, Dewa berbalik, berlari terburu menuju kelas. "Duh, handphoneku!" Anak itu lupa jika tadi handphonenya masih di-charge di kelas. Semoga masih ada.
Dea hendak pulang saat Dewa tiba di pintu kelas.
"Kamu lihat ada handphone di kelas, De?"
"Engga,"
"Beneran? Tadi handphoneku masih di-charge. Aku lupa cabut," Dewa segera masuk, memeriksa stop kontak tempat handphonenya tadi di-charge. "Ya Tuhan, tidak ada!"
"Ngga ada, Dew?"
"Iya nih, gimana dong? Duh, kenapa sih aku bisa lupa?"
"Harusnya kamu ngga usah charge handphone di kelas. Bahaya emang kalau lupa,"
"Aduh, tapi ini kan udah terlanjur," Dewa kemudian memeriksa laci meja satu persatu. Kalau-kalau ada yang menyimpankan handphonenya.
"Nanti dan besok aku bantu cari. Sekarang ayo pulang!"
Dewa kesal karena kecerobohannya. Tapi akhirnya menurut. Lebih baik pulang. Rasanya sebal kalau dipikirkan terus.
Sepanjang jalan menuju gerbang becek, dengan lumpur yang menenggelamkan sepatu. Ya, dalam seminggu ini, hujan menjadikan setiap hari adalah hari mencuci sepatu. Menyebalkan memang, tapi bagaimanapun, hujan adalah kasih sayang Tuhan yang indah.
Dea dan Dewa berjalan bersisian. Di bawah gerimis, biasanya kepala akan lumayan pusing. Tapi lebih pusing lagi bagi anak laki-laki di samping Dea.
"Ah, kenapa sih bisa lupa cabut chargernya tadi,"
"Makanya jangan charge handphone di kelas. Rentan ketinggalan,"
"Ya terus gimana lagi, lowbat,"
"Solusi terbaik adalah kamu ngga usah bawa handphone ke sekolah,"
"Huh, aku kan butuh, buat tugas,"
"Perpustakaan menyediakan banyak buku buat itu," "Kita perlu membaca literasi yang luas, potongan-potongan artikel itu kadang membingungkan jika kita tidak punya dasar,"
"Iya, Bu Guru,"
"Lagipula, handphone tidak lebih penting dari teman-temanmu, sebenarnya,"
"Maksudnya?"
Dea tersenyum. Tidak berniat akan menjawabnya. Dewa memang belum tahu, kalau teman-teman rindu. Rindu pada sosok teman diskusi yang kritis. Seorang yang dulu rajin membaca dan memikirkan banyak hal bersama-sama dengan mereka. Ketika handphone tidak memiliki tempat saat berbincang dan bercanda di kelas. Semuanya terdapat dalam diri Dewa. Dulu. Dan satu hal lagi, sebenarnya, Dea merindukan saat-saat berdialog dengannya seperti ini, saling bertanya dan menjawab. Menanggapi satu sama lain. Lagi-lagi, saat handphone tidak lebih penting dari kehadirannya.
Dea menengok ke dalam tas sebentar.
"Handphone ini akan kembali, jika pemiliknya sudah kembali menyaksikan dunia nyatanya."