Bunga Mawar
by
Iqlima Hawa
- October 29, 2024
Sepertinya aku suka tampil karena ayah memberiku nama yang berarti bunga mawar. Aku suka menjadi semerbak, menjadi sesuatu yang dicintai, menjadi sesuatu yang menyala. Kata orangtuaku aku telah menjadi perempuan yang cukup, bunga mawar yang seperti harapan. Tidak dituntut banyak ini-itu selain hanya satu, menjadi manusia yang benar.
Pada suatu hari, mungkin juga hingga hari ini, definisi cukupku berkurang setidaknya dalam mataku sendiri. Aku belum hebat, belum menulis buku solo pertamaku, ah tidak-tidak, yang lebih tepatnya sudah mulai menulis namun mangkrak. Aku juga belum punya pekerjaan yang menghasilkan uang banyak sehingga aku bisa membeli makanan-makanan enak yang rasanya tak pernah kami kenal. Ternyata kita tak bisa menjadi kaya dadakan seperti artis, atau foto model, atau penerima bantuan bedah rumah yang dulu kutonton saat SD.
Arti nama mawar itu kadang hadir dalam dua bentuk. Aku bisa menjadi pribadi yang indah sekali untuk sebagian orang, namun menjadi luka duri-duri bagi sebagian lainnya. Sebagai manusia, pasti aku pernah menjadi sebab seseorang menangis juga. Tidak mungkin dalam hidup aku tak punya salah pada siapa pun.
Dalam garis waktu di dunia yang panjang ini, sungguh aku sangat ingin tampil apa adanya. Bercanda ketika aku ingin bercanda, tertawa dan tersenyum dengan lepas, betulan menimpuk kepala orang yang kurang ajarnya tidak ketulungan. Oke, yang terakhir mungkin mengerikan. Maksudnya, menjadi diri sendiri itu sepertinya seru sekali, bukan?
Ketika remaja, eh apakah sekarang aku sudah dewasa? aku sempat punya buku yang halaman pertamanya kuisi list impian. Aku menulis ingin menaikkan haji orangtuaku, bertahan di peringkat satu sampai lulus, membangun taman baca dan perpustakaan, pergi ke Eropa, menyusuri Jepang dan China, punya jodoh yang kriterianya kupikir sekarang sangat tak masuk akal, hingga keinginan yang receh sekali, aku ingin bisa menggambar anime.
Aku pikir orang yang bisa menggambar anime itu punya kecerdasan spasial yang di atas rata-rata. Aku pikir orang yang bisa menggambar hidupnya takkan kesepian dan selalu punya cita-cita baru tiap harinya. Target-target menggambar yang baru, mengeksplor style baru, bergabung di komunitas menggambar, atau nanti kalau sudah jago bisa melukis di atas kanvas dengan palet pipih khas pelukis-pelukis klasik. Menjadi orang yang bergelut dengan lukisan sepertinya adalah hal menenangkan.
Cita-citaku mudah berganti selayaknya wajah-wajah hari. Kadang aku ingin jadi pelukis, kadang di masa lainnya aku ingin jadi penulis, aku juga sempat berpikir bekerja di bidang IT serta pemrograman rasanya keren hingga aku mengambil kursus belajar bahasa C dan Python di internet. Sesekali aku sangat ingin menjadi penerjemah, aku sampai hari ini selalu rajin membaca artikel asing dan novel inggris klasik serta punya buku catatan khusus mengenai belajar bahasa ini.
Hhh, kau tahu, aku seperti tak punya kompas hidup. Tujuan dan jalan yang ingin kutempuh selalu berubah-ubah. Terombang-ambing seperti petualang yang tak tahu arah, terlalu menginginkan yang macam-macam membuatku plin-plan dan tak punya strategi. Sungguh, aku seperti makhluk yang ingin menjadi indomie goreng sekaligus indomie soto, ayam bawang, rasa rendang, ayam geprek, mi goreng aceh, dan varian seblak hot jeletot sekaligus. Banyak sekali sekaligus tak mungkin juga.