Mari Berbenah
Creating our own life, antara salah jalan lalu ambil haluan lain, atau stay sedikit lebih sabar di keadaan saat ini and then see the result yang akan datang.
Jam tidur kita sedikit berantakan lagi, yaa. Setiap perkerjaan ternyata butuh tekun yang panjang umur. Tidak hanya menggebu di awal, membuat plan dalam kepala, lalu saat segala sesuatunya mulai 'menanjak' sedikit kita menyerah.
Ada waktu-waktu dulu kita menginginkan slow living, hidup dengan sangat mindful, makan, minum teh hangat, membaca, menggambar, dan bekerja sewajarnya dengan full berkesadaran. Hingga tiba-tiba konsep slow living cukup membahayakan sepertinya jika tak dibatasi:
Kita enggan bergerak dengan sedikit lebih cepat lagi.
Karena merasa segala sesuatunya telah cukup. Karena merasa go with the flow itu sudah menenangkan. Hingga tiba masanya, ada waktu-waktu yang perlu dana darurat. Ada waktu-waktu juga yang perlu perhatian ekstra.
Bahwa tiba-tiba sakit itu mungkin. Bahwa tiba-tiba usaha orangtua kita sedang tidak lancar itu mungkin. Bahwa tiba-tiba, waktu yang kita curahkan untuk membuat karya kreatif, energi-energi, berjam-jam waktu yang telah di-spend untuk menulis dalam sehari, bisa terbuang tanpa makna yang sebanding dengan effort-nya itu mungkin.
Ternyata ada masanya kita tiba pada kekosongan dan kebosanan, dan mungkin feeling stuck, serta tak punya minat menjalani hari. Mungkin jika dianalisis secara sederhananya, terlalu banyak waktu luang berbanding lurus dengan terlalu banyak waktu yang terbuang.
Scrolling Instagram 3 jam lebih, menelan puluhan konten, terutama short video berdurasi 30-60-an detik, dengan berbagai macam topik bahasan, dan yaa, merasa mendapat banyak ilmu baru, tapi kemampuan fokus kita jadi rendah. Kita seperti menelan banyak makanan enak, mengambil sedikit makanan yang satu, makanan yang ini, makanan yang itu, tapi makanan-makanan itu tak begitu kita sadari rasanya saat makan. Dan mungkin advantage-nya akan berbeda jika kita hanya mengambil satu piring dengan nasi dan satu-dua lauk pauk saja, namun kita dapat banyak gizi dari sana dan memakannya dengan penuh penghayatan.
Tidak hanya cemal-cemil.
Mendengarkan podcast satu atau setengah jam di Spotify tentang pengembangan diri, agaknya terasa lebih menambah isi kepala dibanding kita melahap: 5 resep masakan, 7 carousel konten tentang apa saja, ter-distract ingin melihat-lihat 10 update-an terkini, yang akhirnya setelah device-nya dimatikan, sekian persen memori kita tentangnya menetap, dan sebagiannya pun hilang. Attention span kita semakin berkurang.
Ada insight yang cukup menarik dari perbincangan bersama teman kisaran dua pekan lalu, "Tapi Iqlima (sedang membahas generalis dan spesialis), kita pasti juga ingin, kan, menjadi orang yang tidak medioker? Kita ingin, kan, menjadi individu yang expert, sukses dan luar biasa pada akhirnya?"
Iya, juga, ya, perihal ilmu itu ternyata kita harus haus. Dan sedikit menampar kita juga, ya, sebenarnya, bahwa setelah selesai dengan suatu urusan, kita ambil jeda sebentar, lalu bersiap lagi untuk menarik napas dan melangkah lagi. Mengerjakan yang bisa dikerjakan lagi.
Mungkin jika tak terbiasa menulis setiap hari 1000 kata, kita bisa menulis isi pikiran kita saja satu paragraf. Jika tak bisa membaca 30 halaman buku dalam sehari, kita bisa baca satu artikel di Medium atau sumber lainnya. Jika menggambar dalam satu halaman kertas A4 terasa melelahkan, mungkin kertas A4 itu bisa kita bagi jadi kotak-kotak kecil dan menaruh satu ide/gagasan/gambar di satu kotaknya dan dilanjutkan esok harinya. Jika tahajud masih berat, mungkin ibadah kita bisa diganti dengan shalat dua raka'at sebelum shubuh atau memulai dengan kebiasaan berdzkir setelah shalat fardhu. Lalu berupaya menjalankannya dengan itqan, kecil-kecil namun berkelanjutan.
Sekian, sharing dan menuliskan keresahan hari-hari belakangan ini-nya, semoga urusan kita, yang baik-baik, beserta niat-niat baiknya juga, senantiasa Allah mudahkan.