Dengan Kenangan yang Kaya Raya
Seusai segalanya selesai, kamu akan dikenang: secara terbatas. Hari-hari ketika kamu tutup matamu dengan teduh, isak tangis bak air bah. Saat pertama kali tubuhmu menyentuh tanah --yang tentu orang-orang mengerti maksudnya apa-- doa-doa menjadi begitu meraung-raung, sekelilingmu sesenggukan.
Waktu pertemuan kadangkala kesingkatan. Jaraknya bisa selemparan batu, sedekat hati dan lambung.
Seringkali kita berharap jauh bahwa masa depan adalah ini-itu-dan bagaimana. Sehingga sebagian kita memacu diri, supaya di depan sana menjadi cukup, menjadi mengagumkan, menjadi setinggi-tingginya lapisan langit.
Namun, kamu pergi dengan indah, dengan hari-hari yang sederhana, dan wajahmu tersenyum. Satu, dua, hingga tujuh hari, delapan, sembilan, sepuluh, hingga seribu hari lebih berlalu: dan semoga kamu masih senantiasa tersenyum. Kamu dikenang secara terbatas oleh orang-orang, namun ada juga yang mengenangmu dengan ugal-ugalan; dengan kenangan yang kaya raya.
Perabotan rumah tangga menuturkan kisah yang seakan-akan mengingatkan bahwa kamu berbicara melaluinya. Melalui kursi yang biasa kamu duduki, rak-rak menyimpan buku dan tulisanmu tertinggal banyak di sana; tapi sama sekali tidak sanggup mengembalikan kamu.
Mengikhlaskan adalah sebaik-baik bentuk upaya. Menjadi lebih tersadar dan lebih memprioritaskan segala bentuk amal yang kita bawa esok nanti adalah sebaik-baik pemahaman.
Ingatan bukan rumus-rumus fisika yang sebentar-bentar bisa mudah kita lupa. Dia berkelebatan, mucul dan tenggelam.
Tulisan ini tidak sedang menceritakan siapa-siapa. Barangkali ini adalah renungan supaya aku banyak menghargai keadaan, orang-orang dan persaudaraan. Menjadi catatan yang ingin aku baca terus-menerus ketika sedang kufur nikmat, ketika aku tergelincir, ketika aku sedang lupa diri. Semoga akhir yang baik meliputi kita semua.