Cerpen : Tidak Apa-Apa, Hanya Sebuah Sendok dan Garpu, kan?

by - August 19, 2020

Tepat di ruang makan megah milik salah satu lembaga pelatihan olimpiade sains di Indonesia, gadis berkerudung navy itu kelihatan sudah tidak sabar. Perutnya memainkan melodi yang tidak hanya terdengar oleh dirinya sendiri, melainkan juga oleh orang-orang di depan dan belakang. Teman-teman satu sekolahnya satu persatu telah mendapatkan makanan mereka. Sedang gadis itu masih mengantre. Lapar, juga sedikit pusing sehabis kelas pelatihan biologi sore tadi.


Nat tidak fokus dengan situasi sekitar, hingga tidak sengaja menjatuhkan sendok dan garpu.

Prang! Nat panik. Tampak beberapa mata peserta pelatihan di ruangan berukuran besar itu menatapnya. Malu sekali. Sampai Nat lepas kendali dan berteriak, "Aduh!"

"Tidak apa-apa, ini hanya sebuah sendok dan garpu."

Nat merasa suara itu datang dari pemuda di belakangnya. Seorang pemuda berwajah oriental yang kemudian memungut sendok dan garpu Nat di lantai. Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat. Lantas ia pergi ke barisan peserta yang mengambil peralatan makan dan tiba dengan sendok dan garpu baru.

"Tenang, hanya sebuah sendok dan garpu, kan?"



Nat masih belum begitu menyadari situasi. Pemuda berwajah oriental itu berdiri di belakangnya. Melanjutkan mengantre. Sedang Nat sudah tiba pada meja prasmanan, mengambil satu potong daging, nasi, dan sedikit sayur dengan hati-hati. "Jangan sampai membuat kekacauan lagi!" batinnya.

Lampu-lampu neon berpijar terang sekali di langit-langit ruang makan. Seusai mengambil jatah makannya, Nat kembali duduk di meja tempat teman-teman satu sekolahnya duduk.

"Aduh, aku malu banget tadi," ujar gadis berkerudung navy itu kesal pada Ratu, Icha, dan Ayu.

"Soal menjatuhkan sendok dan garpu tadi?" tanya Ratu.

"Iya," Nat mendengus kesal.

"Yee, tapi ada laki-laki penyelamat itu, kan," ledek Ayu.

"Hem, hem, cieee," ujar teman-temannya.

"Yah, kalian, kok malah jadi cie-cie sih. Malu tau!" timpal Nat sebal.

Tapi jujur dalam hatinya, Nat berterima kasih sekali pada pemuda itu. Berhutang budi. Entah apa jadinya jika Nat terdiam di tengah ruang makan dan latah berteriak lebih banyak.

Nat, Ayu, dan Ratu selesai makan. Sebentar lagi kelas malam di mulai. Mereka menuju wisma untuk mempersiapkan diri.

Di koridor saat perjalanan menuju ke sana, mereka berpapasan dengan pemuda berwajah oriental itu. Mata pemuda itu menatap Nat dengan teduh sekali. Tersenyum. Nat salah tingkah lagi, namun akhirnya balas tersenyum. Di hatinya seperti ada yang berkata, "Tenang, hanya sebuah sendok dan garpu, kan?" Ah wajahnya, perkataannya, mengapa menenangkan sekali?

Nat menoleh ke belakang saat sudah berjalan cukup jauh, ditengoknya pemuda itu masuk ke aula, tempat pelatihan kelas astronomi.

Setelah tiba di wisma dan bersiap, ketiga gadis itu segera menuju kelas masing-masing. Ya, sekolah mengirim sembilan orang untuk mewakili sembilan bidang pelatihan olimpiade. Nat biologi, Ratu fisika, Ayu ekonomi, dan beberapa teman lainnya. Semoga sukses!

Nat menuju pasteur belakang, ruang kelasnya. Sengaja ia memilih melalui jalan samping agar bisa melewati aula, tempat pemuda berwajah oriental itu belajar.

Lagi-lagi, semesta menemukan dua orang laki-laki dan perempuan yang sepertinya sedang sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama di saat yang tepat sekali.

"Loh kamu!" pemuda yang sedang berdiri di dekat pintu itu menoleh.

"Eh iya, kamu lagi." Nat masih berusaha tersenyum sewajar mungkin agar tak kelihatan salah tingkah.

"Kelasmu di mana?"

"Di pasteur belakang, udah ya aku ke sana dulu, takut kelasnya udah mulai." Nat bergegas, takut dirinya tak bisa menguasai perasaan.

"Eh kita belum kenalan, aku Ivan, kamu siapa?"

Ivan setengah berteriak. Nat sudah berada beberapa langkah di depannya. Namun gadis itu mendengar, seraya menoleh, "Natalie." jawabnya dengan senyum manis. Ivan jatuh cinta untuk yang ketiga kalinya.

"Oksitosin dan dopamin adalah hormon yang bekerja ketika manusia sedang merasa bahagia. Hormon-hormon itu membuat kita merasakan perasaan senang, gembira, bahkan jatuh cinta."

Dua kata terakhir! Penjelasan Kak Fatin, mentor Nat terasa begitu membekas. "Ah apa mungkin, aku jatuh cinta?" Nat tersenyum-senyum sendiri.

Kelas malam berakhir pukul dua puluh dua. Ayu, Ratu, dan Icha sepertinya sudah kembali ke kamar masing-masing. Nat memilih menonton televisi sebentar di lobby.

Hei, Ivan! Pemuda itu juga di sini.

Nat menguatkan hati untuk memanggilnya.

"Eh, Natalie ya tadi, katamu?" tanya pemuda itu, matanya berbinar melihat wajah Nat.

"Iya,"

"Hm, masalah sendok dan garpu di ruang makan tadi, terima kasih ya," ujar Nat malu-malu

"Oke, sama-sama, never mind."

"Eh, lihat deh!" Ivan menunjuk langit dari belakang tempat duduknya. Lobby memang sedikit terbuka pada bagian atasnya, sehingga siapapun bisa melihat langit dengan cukup leluasa.

"Kenapa?"

"Tuhan menciptakan bintang tidak sendirian," Ivan memulai perkataannya.

"Lalu?"

"Begitu pula dengan manusia, tujuh miliar di muka bumi saat ini. Makanya, kamu tidak perlu panik saat melakukan kesalahan. Pasti ada yang membantu, walau hanya satu." sambung pemuda itu kemudian.

"Hm, udah ya, aku mau balik ke kamar dulu. Kamu juga jangan lama-lama di sini. Sudah malam."

Ivan pergi, namun wajah dan perkataannya tidak pernah. Selalu membekas. Juga, menenangkan.

Tidak terasa empat hari pelatihan di Bandung selesai. Lembaga ini sungguh mendidik dengan cara berkualitas. Nat menatap bangunan ini bangga. Tuhan mempertemukan dengan kesempatan-kesempatan baik yang tidak ia dapat di mana pun.

Dilihatnya saat upacara penutupan di lapangan, Ivan berdiri gagah sekali. Matanya memancarkan kecerdasan yang mampu membuat siapa saja luluh. Dan ia menjadi salah satunya.

Selepas upacara penutupan itu, Ivan menyempatkan menghampiri Nat,

"Rumahku jauh, di Palembang. Mungkin begitu juga dengan rumahmu. Namun Bandung menjadi tempat pertemuan yang indah. Jika kamu melakukan kesalahan lagi, kamu cukup ingat perkataan ini, 'Pasti ada yang membantu, walau hanya satu.' Lantas, saat malam, tataplah langit dan bintang yang tidak sendirian itu. Percayalah langit akan menjadikan batas Palembang dan rumahmu lenyap. Kamu cukup ingat itu. Senang mengenalmu!"

Natalie menatap Ivan serius. Perkataannya yang panjang tadi membiusnya sampai di titik paling jauh. Dirasakannya oksitosin dan dopamin dihasilkan lebih banyak di tubuhnya.

"Iya, langit tidak punya batas. Senang mengenalmu juga!"

You May Also Like

0 comments