Cerpen : Sebuah Penyemangat
by
Iqlima Hawa
- September 02, 2018
Hari ini Fon pergi ke sebuah kedai bunga. Cantik, di mana saja di tempat itu berwarna-warni, namun tidak seperti hatinya.
"Kau mencari bunga apa, anak muda?"
"Ergh, maaf, apa, Bibi?"
"Kau sedang mencari bunga apa, anak muda yang tampan?"
"Oh, ergh ... Fon mencari satu buket bunga yang paling cantik di kedai ini,"
"Sebentar, aku ambilkan," jawab Bibi penjaga kedai, lalu bergegas mengambil bunga tercantik.
Fon lanjut berpikir. Seorang paling berarti di hatinya, tidak mungkin mendapat bunga murahan. Harus yang paling istimewa. Ia lantas merogoh saku, memeriksa apakah uang yang disiapkannya cukup banyak.
"Halo, anak muda, ini aku bawakan mawar merah paling menawan di kedai ini, lihatlah!"
Fon menimang-nimang buket mawar pilihan Bibi, dalam benaknya terus berputar, "apakah seorang berartinya menyukai bunga ini?"
"Sebentar, adakah Bibi punya bunga tercantik yang lain?"
"Mawar itu yang paling cantik, simbol cinta teristimewa sepanjang masa. Kau harusnya memilih ini, tapi tunggulah, mungkin kau akan menyukai bunga yang satunya lagi, akan kuambilkan."
"Baiklah, Fon tunggu,"
Setelah beberapa saat, Bibi penjaga kedai datang.
"Ini bunga aster, bunga yang cantik, eksotis, dan masih tetap dikagumi selama berabad-abad. Kau juga bisa memberinya untuk kekasihmu saat berkencan,"
"Em, tapi adakah arti yang lain dari bunga ini?"
"Sebenarnya bunga ini bisa juga diberikan ketika ada seseorang yang berada di rumah sakit, untuk mengharapkan kesembuhannya. Tapi kuharap, tidak ada seseorang yang berarti bagimu yang sedang sakit sekarang,"
Fon berpikir sebentar,
"Baiklah, Fon ambil yang ini,"
"Apakah ada seseorang berartimu yang sedang sakit?" tanya Bibi penjaga kedai.
"Oh, tidak juga."
-
Langkah pemuda sembilan belas tahun itu gontai, menyusuri koridor gedung putih-putih di pusat kota.
Harus sembuh, harus bertahan!
-
Wanita berusia dua puluh lima di atas Fon terbujur kaku. Masih meminta kebaikan Tuhan agar matanya sanggup menatap dunia lagi, agar telinganya masih mampu mendengar anak semata wayangnya berkata, "Aku sayang Mama." Tapi untuk yang kedua, ia hanya menunggu keajaiban. Menunggu anaknya benar-benar mampu menyayangi,
-
"Mama, tidak mengerti Fon! Fon ingin bebas dari semuanya, Mama dan Papa terlalu banyak aturan, Fon benci!"
lebih dari tiga tahun keinginan bebas dari keluarga terpikir dalam benak Fon. Tapi itu tiga tahun yang lalu, saat ia sungguh masih kekanakkan. Sekarang, saat semuanya sudah menjadi seperti ini, siapakah yang mampu selamanya melukai?
-
Engsel pintu Ruang Melati berbunyi, seorang lelaki. Memasuki ruangan pelan-pelan, matanya tidak sanggup menahan linangan. Penyakit yang sudah seperti ini, mengapa masih tega untuk hatinya terlukai?
"Mama ... " suara Fon terdengar lirih. Lembut, tapi berat.
Wanita paruh baya itu sedikit bergerak, mencoba membuka mata meski sangat sulit.
"Ini ... " Fon meletakkan buket aster itu ke tangan Mamanya. Wanita itu sedikit demi sedikit mengenali sosok disampingnya.
"Fon minta maaf, dulu pernah pergi sangat jauh, dengan bunga aster ini, semoga Mama bahagia, dan cepat sembuh." Fon tidak kuasa melanjutkan kalimatnya. Ruangan itu dipenuhi sesak dan haru.
"Fon, sejatinya, Mama selalu bahagia, bagaimanapun kamu, karena Mama tahu, semua anak pasti akan dewasa dengan berjalannya waktu."
"Tapi Fon sangat terlambat,"
"Tidak, Fon, percayalah."
-
Sejak kejadian yang haru biru itu, perlahan lensa mata Fon dan Mama bersama-sama fokus. Fokus pada tujuan hidup yang baru, tujuan hidup membahagiakan yang selalu. Dan dengan ini, semoga retina mata Fon dan Mamanya hanya mampu menangkap citra semesta yang indah. Seindah bunga aster, penyemangat kesembuhan Mama.
"Kau mencari bunga apa, anak muda?"
"Ergh, maaf, apa, Bibi?"
"Kau sedang mencari bunga apa, anak muda yang tampan?"
"Oh, ergh ... Fon mencari satu buket bunga yang paling cantik di kedai ini,"
"Sebentar, aku ambilkan," jawab Bibi penjaga kedai, lalu bergegas mengambil bunga tercantik.
Fon lanjut berpikir. Seorang paling berarti di hatinya, tidak mungkin mendapat bunga murahan. Harus yang paling istimewa. Ia lantas merogoh saku, memeriksa apakah uang yang disiapkannya cukup banyak.
"Halo, anak muda, ini aku bawakan mawar merah paling menawan di kedai ini, lihatlah!"
Fon menimang-nimang buket mawar pilihan Bibi, dalam benaknya terus berputar, "apakah seorang berartinya menyukai bunga ini?"
"Sebentar, adakah Bibi punya bunga tercantik yang lain?"
"Mawar itu yang paling cantik, simbol cinta teristimewa sepanjang masa. Kau harusnya memilih ini, tapi tunggulah, mungkin kau akan menyukai bunga yang satunya lagi, akan kuambilkan."
"Baiklah, Fon tunggu,"
Setelah beberapa saat, Bibi penjaga kedai datang.
"Ini bunga aster, bunga yang cantik, eksotis, dan masih tetap dikagumi selama berabad-abad. Kau juga bisa memberinya untuk kekasihmu saat berkencan,"
"Em, tapi adakah arti yang lain dari bunga ini?"
"Sebenarnya bunga ini bisa juga diberikan ketika ada seseorang yang berada di rumah sakit, untuk mengharapkan kesembuhannya. Tapi kuharap, tidak ada seseorang yang berarti bagimu yang sedang sakit sekarang,"
Fon berpikir sebentar,
"Baiklah, Fon ambil yang ini,"
"Apakah ada seseorang berartimu yang sedang sakit?" tanya Bibi penjaga kedai.
"Oh, tidak juga."
-
Langkah pemuda sembilan belas tahun itu gontai, menyusuri koridor gedung putih-putih di pusat kota.
Harus sembuh, harus bertahan!
-
Wanita berusia dua puluh lima di atas Fon terbujur kaku. Masih meminta kebaikan Tuhan agar matanya sanggup menatap dunia lagi, agar telinganya masih mampu mendengar anak semata wayangnya berkata, "Aku sayang Mama." Tapi untuk yang kedua, ia hanya menunggu keajaiban. Menunggu anaknya benar-benar mampu menyayangi,
-
"Mama, tidak mengerti Fon! Fon ingin bebas dari semuanya, Mama dan Papa terlalu banyak aturan, Fon benci!"
lebih dari tiga tahun keinginan bebas dari keluarga terpikir dalam benak Fon. Tapi itu tiga tahun yang lalu, saat ia sungguh masih kekanakkan. Sekarang, saat semuanya sudah menjadi seperti ini, siapakah yang mampu selamanya melukai?
-
Engsel pintu Ruang Melati berbunyi, seorang lelaki. Memasuki ruangan pelan-pelan, matanya tidak sanggup menahan linangan. Penyakit yang sudah seperti ini, mengapa masih tega untuk hatinya terlukai?
"Mama ... " suara Fon terdengar lirih. Lembut, tapi berat.
Wanita paruh baya itu sedikit bergerak, mencoba membuka mata meski sangat sulit.
"Ini ... " Fon meletakkan buket aster itu ke tangan Mamanya. Wanita itu sedikit demi sedikit mengenali sosok disampingnya.
"Fon minta maaf, dulu pernah pergi sangat jauh, dengan bunga aster ini, semoga Mama bahagia, dan cepat sembuh." Fon tidak kuasa melanjutkan kalimatnya. Ruangan itu dipenuhi sesak dan haru.
"Fon, sejatinya, Mama selalu bahagia, bagaimanapun kamu, karena Mama tahu, semua anak pasti akan dewasa dengan berjalannya waktu."
"Tapi Fon sangat terlambat,"
"Tidak, Fon, percayalah."
-
Sejak kejadian yang haru biru itu, perlahan lensa mata Fon dan Mama bersama-sama fokus. Fokus pada tujuan hidup yang baru, tujuan hidup membahagiakan yang selalu. Dan dengan ini, semoga retina mata Fon dan Mamanya hanya mampu menangkap citra semesta yang indah. Seindah bunga aster, penyemangat kesembuhan Mama.
Sumber gambar : https://manado.tribunnews.com/2015/07/10/gara-gara-hama-tiff-tahun-ini-tanpa-bunga-aster