Kedai Bunga yang Aneh di Neerach (Menceritakan kembali tulisan Hanum Salsabiela Rais dalam buku 'Berjalan di Atas Cahaya')
Apa yang kamu rasakan jika tiba-tiba mesin teleportasi membawamu ke sebuah desa di Swiss nun jauh di sana? Desa yang damai, teramat damai bahkan. Sebab setiap hari, rasanya seperti hari Minggu di Neerach. Seperti semua orang mendekam dalam rumah sepanjang hari. Sepi.
Rupanya, pantas saja jika keadaannya demikian. Neraach adalah desa tempat peraduan masyarakat di hari tua. Penduduk disana, didominasi oleh orang tua lanjut usia. Mereka dulu, ketika muda, menabung dan berusaha keras untuk membangun rumah masa depan. Tidak untuk diwariskan kepada anak-anak, hanya untuk dinikmati dirinya dan pasangan tercinta sepanjang sisa usia. Ya, rumah-rumah inilah yang mengisi keheningan Desa Neerach.
Di desa itu, terdapat sebuah kedai bunga kecil di pinggir jalan. Kedai bunga yang aneh, katanya. Mengapa aneh? Karena setiap kamu kesana, kamu tidak menemui satu orang penjual pun. Kedai itu tidak ada penjaganya.
Seperti Hanum, saat menunggu Markus disana. Ia melihat bunga-bunga berjajar di kedai, dengan harga ditempel besar-besar pada tangkai bunga. Tapi bagaimana caranya membayar jika tidak nampak batang hidung orang yang mau dibayar?
Kalau kamu mengamati ke dalam, disana hanya terdapat sebuah meja kecil. Di atasnya terdapat sebuah kaleng bir kosong, entah untuk apa. Di sebelah meja tersebut, menggantung buku notes kecil, kenapa di pasang menggantung? Aku juga tadinya tidak tahu.
Setelah membaca sampai akhir, aku menemukan suatu hal yang bagi orang mungkin biasa, tapi menurutku lebih dari sekadar 'biasa'. Kalau kamu mau membayar, kamu hanya perlu memasukkan uangmu ke dalam kaleng bir kosong di atas meja itu. Masukkan uang sesuai harga yang tertera pada tangkai bunga. Setelah itu, kamu boleh membawa pulang bunganya. Karena kamu, sudah 'membeli'.
Tapi masalahnya, uang Hanum adalah uang pecahan besar, bagaimana caranya meminta kembalian di kedai kosong itu?
Markus menunjukkan kaleng-kaleng lain di dekat kaleng pembayaran bunga tadi. Ada sekitar empat. Kaleng yang pertama, berisi beberapa lembar uang pecahan 10 Euro, kaleng kedua, beberapa lembar uang pecahan 5 Euro, dan dua kaleng terakhir berisi koin 1 Euro dan uang sen.
"Ambillah dari situ kembalianmu, Hanum,"
Wow, jika begini mekanisme penjualannya, apakah penjual tidak akan mengalami kecurian dan kerugian?
Bisa jadi tidak. Karena pemilik kedai ini, Tuan dan Nyonya Hoffinger mengedepankan 'trust' dalam kedai mereka. Pemilik kedai memberikan trust kepada pembeli sepenuhnya, dan pembeli, yang notabene penduduk Neerach, akan memegang trust itu sungguh-sungguh. Apa yang bukan milik mereka, tidak boleh menjadi milik mereka. Benar-benar sistem saling percaya yang jarang ditemui.
"Kau pasti berpikir bagaimana jika uang kembalian ini habis kan, Hanum?"
Hanum setuju, Markus bisa langsung menebak kebingungannya.
"Kau lihat disana, ada buku notes kecil yang menggantung? Tulislah nama, alamat, dan uang kembalianmu disana, nanti pemilik kedai akan mengantarkan uang kembalian ke rumahmu,"
Hanum tercengang dengan pernyataan itu, aku juga. Tidak habis pikir dengan ketenangan Tuan dan Nyonya Hoffinger. Pasangan tersebut pasti bukannya tidak memiliki waktu untuk menunggui kedai, mereka bisa jadi ingin menanamkan satu sistem jual beli yang mengutamakan kepercayaan. Kepercayaan, yang dalam aspek apapun, selalu menjadi hal terpenting.
Dan rupanya, sistem penjualan tanpa penunggu itu diterapkan oleh sebagian besar penjual di desa itu. Mereka penjual koran, majalah, kayu bakar untuk perapian, barang bekas, dan beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya, menerapkan sistem itu.
0 comments